Senin, 22 November 2010

Kandungan Komponen Dalam Negeri Ditargetkan 40 Persen Tahun Ini

TEMPO Interaktif, Jakarta - Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Teknologi dan Aneka Kementerian Perindustrian Anshari Bukhari mengatakan, pemerintah menargetkan total Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) pada 2010 sebesar 40 persen. "Sekarang baru sekitar 30 persen," ujar Anshari di Jakarta, Rabu (19/5).

Tingkat komponen yang menunjukkan besarnya komponen dalam negeri pada barang dan jasa dihitung berdasarkan harga barang jadi setelah dikurangi komponen luar negeri dibandingkan dengan harga barang jadi. Untuk itu pemerintah bakal memberi insentif bagi pihak swasta yang telah mencapai tingkat komponen tertentu.

Namun, ia tidak bisa menyebutkand etail insentif tersebut. Sedangkan untuk instansi pemerintah tidak ada insentif, karena Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2009 telah mewajibkan instansi pemerintah memaksimalkan penggunaan produk dan jasa dalam negeri sesuai kewenangan masing-masing. "Saat ini masih urang sosialisasi, harus lebih dipacu," ujar Anshari.

Sebelumnya, Wakil Menteri Perindustrian Alex S.W. Retraubun mengatakan, naiknya alokasi anggaran yang diberikan pada kementerian dan lembaga pemerintah dapat dimanfaatkan memaksimalkan program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN).

Total belanja barang dan modal pemerintah pada 2010 diperkirakan meningkat 19,2 persen menjadi Rp 189,2 triliun. Pada 2009, total belanja pemerintah Rp 158,8 triliun. Adapun total belanja modal dan operasional 63 badan usaha milik negara strategis pada 2009 sebesar Rp 950,78 triliun. Dari jumlah itu, Sekitar Rp 143,93 triliun digunakan untuk belanja modal.

Dengan tren positif tersebut, ia berharap program cinta produk dalam negeri yang dipimpin oleh Kementerian Perindustrian itu dapat segera terwujud. "Belanja pemerintah untuk pembelian barang dan jasa sangat besar nilainya. Apalagi jika digabung dengan BUMN dan BUMD," ujar Alex.

Dia pun sempat menyinggung Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2009 tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri yang secara tegas mengamanatkan instansi pemerintah untuk memaksimalkan penggunaan produk dan jasa dalam negeri sesuai kewenangan masing-masing.
ADISTI DINI INDRESWARI

PENINGKATAN KOMPONEN DALAM NEGERI PADA SISTEM TRANSPORTASI BIS

Sistem transportasi massal untuk daerah berpenduduk padat di Indonesia menjadi keniscayaan untuk segera diwujudkan. Pilihan transportasi bis sebagai alternatif transportasi massal  dianggap tepat dan merupakan salah satu produk industri otomotif yang akan dikembangkan menjadi prioritas.
 
Dalam rangka meningkatkan potensi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan daya saing pada industri nasional otomotif bis dan komponennya, Balai Mesin Perkakas, Perkakas, Teknik Produksi dan Otomasi (MEPPO) BPPT mengadakan Focus Group Discussion (FGD) di Puspitek, Serpong (9/11).

“Industri kendaraan bermotor Indonesia khususnya bis, memiliki potensi ekonomi yang tinggi dan merupakan salah satu industri prioritas dalam kebijakan industri nasional. Tetapi, sampai saat ini peran industri nasional paa industri otomotif bis masih belum optimal”, ungkap Kepala BPPT, Marzan Aziz Iskandar saat membuka diskusi.

Untuk menunjang optimalisasi potensi ekonomi industri nasional, kata Kepala BPPT, produktivitas dan efisiensi sistem produksi pada industri otomotif bis nasional dan kandungan lokal komponennya harus selalu ditingkatkan. “Dengan latar belakang pemikiran tersebut, tahun 2010 BPPT mempunyai program kegiatan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Produksi pada Industri Otomotif Bis dan Komponennya”.

Selanjutnya, Ia mengatakan pertemuan FGD ini merupakan langkah awal  untuk mengupayakan terwujudnya sistem inovasi nasional dalam kegiatan pengembangan teknologi produksi pada industri otomotif bis dan komponennya. “Melalui pertemuan diskusi ini diharapkan akan terbentuk kesepahaman komitmen bersama untuk menyatukan langkah dan saling bersinergi untuk menumbuhkan industri nasional dan meningkatkan TKDN pada industri otomotif khususnya”, ujar Marzan.

Melengkapi paparan Kepala BPPT sebelumnya, mengenai kemampuan dalam meningkatkan  TKDN,  Deputi Kepala Bidang Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa (TIRBR) BPPT, Iskendar menjelaskan bahwa harus dilihat dari berbagai aspek seperti  konstruksi, teknologi, dan konfigurasi. Aspek manakah nantinya yang paling tepat dan paling efisien dinilai dari berbagai sisi kenyamanan, ramah lingkungan dan didukung dengan kemampuan SDM, kemampuan fasilitas serta dukungan kebijakan.

“Dengan mengetahui aspek-aspek yang perlu diperhatikan dan komimen dari berbagai pihak, maka diharapkan kita dapat menguasai teknologi, meningkatkan produksi dalam negeri dan berujung pada petumbuhan ekonomi masyarakat serta memberikan kenyaman pada masyarakat  dengan bis yang merupakan produksi dalam negeri”, ucapnya.

FGD ini dihadiri oleh Moch Setiono dari Kementrian Perindustrian, Sohibul Imam anggota Komisi VII DPR, Dewanto Purnachandra dari Kementerian Perhubungan, I Gusti Suarnaya Sidemen DARI Kementerian ESDM, I Nyoman Sutantra ketua LPPM ITS, Pembantu Direktur Bidang Produksi dan Kerjasama Usaha Politeknik Manufaktur Negeri Bandung, M. Nurdin, Mardiannus Pramudya dari PT. INKA, Kabid Industri dan HRD Gakindo-KTB, Budi Prasetyo Susilo, dan Puryanto dari DPP Askarindo. (TKR/humas)

Buku Apresiasi Produksi Dalam Negeri 2010 Diluncurkan

 Ditandai dengan penandatanganan buku disertai penyerahan kepada perwakilan stakeholder, Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh meresmikan peluncuran Buku Apresiasi Produksi Dalam Negeri (APDN) 2010 di Lobby Kementerian ESDM, Rabu (6/10).

Buku APDN adalah buku acuan penggunaan produksi dalam negeri pada kegiatan usaha hulu migas yang berisi Daftar barang Diwajibkan, Daftar Barang Dimaksimalkan dan daftar Barang Diberdayakan serta Daftar Kemampuan produsen Dalam Negeri yang telah memiliki Surat Kemampuan Usaha Penunjang (SKUP) Migas.

“Buku ini akan diterbitkan secara berkala maksimal setiap 2 tahun sekali dan akan diperbarui setiap 6 bulan,” kata Dirjen Migas Kementerian ESDM Evita H. Legowo dalam laporannya pada acara peluncuran tersebut.

Evita memaparkan, penyusunan Buku APDN mengacu kepada UU No 22 tahun 2001 tentang Migas, PP No 35 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas, Perpres No 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Selain itu, PTK 007 yang disusun oleh BPMIGAS.

Lebih lanjut ia mengungkapkan, kegiatan usaha migas Indonesia dibedakan menjadi dua yaitu usaha inti dan usaha penunjang. Usaha inti terdiri dari kegiatan usaha hulu dan hilir serta usaha penunjang meliputi usaha jasa penunjang (services) dan industri penunjang (supporting industries).

Dalam upaya pemberdayaan produksi dalam negeri, badan usaha (BU) dan bentuk usaha tetap (BUT) harus mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang, jasa serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri secara transparan dan bersaing.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, nilai tingkat komponen dalam negeri (TKDN) barang dan jasa pada kegiatan usaha hulu migas pada tahun 2006 mencapai 43%, meningkat menjadi 54% pada 2007. Namun angka ini turun menjadi 43% pada 2008 dan naik menjadi 49% pada 2009.

“Saat ini, kami berusaha agar TKDN dapat ditingkatkan lagi,” tambah Evita.

Tekad ini didukung Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh. Menurutnya, Kementerian ESDM berupaya meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri guna mewujudkan kemandirian industri dalam negeri yang mampu bersaing pada tingkat nasional, regional dan internasional.

Pada tahap awal, paparnya, memang diperlukan keberpihakan pada industri dalam negeri. Namun demikian, keberpihakan ini harus ada batas waktunya untuk melatih kemandirian industri dalam negeri.

Agar penggunaan produksi dalam negeri untuk kegiatan migas dapat terus ditingkatkan, dalam kesempatan itu, Darwin meminta komitmen BPMIGAS dan KKKS untuk memanfaatkan Buku APDN dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa. Terhadap KKKS yang paling banyak menggunakan produksi dalam negeri dalam melakukan kegiatan operasinya, Kementerian ESDM akan memberikan penghargaan.

“Dalam 1 tahun ke depan, KKKS yang paling terdepan mendahulukan keberpihakan (menggunakan produksi migas nasional) akan diberikan award,” janjinya.

Darwin juga meminta komitmen industri penunjang migas untuk meningkatkan kualitas barang dan jasa produksinya agar berdaya saing.
http://www.migas.esdm.go.id/wap/?op=Berita&id=1947

Jumat, 19 November 2010

Furniture Impor Serbu Pasar Dalam Negeri

JAKARTA (Pos Kota) – Membanjirnya produk mebel impor dari China dikhawatirkan menggerus pangsa pasar industri mebel dan kerajinan kayu Indonesia, kata Ketua Umum Asosiasi Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Ambar Tjahyono, Senin.
Asmindo, lanjutnya, menyayangkan membanjirnya produk impor mebel di dalam negeri sehingga membuat usaha kecil yang bernaung di bawah Asmindo semakin tertekan dan tidak bisa meningkatkan penjualannya di pasar domestik.
“Sekarang ini di pasar dalam negeri lebih banyak dipenuhi  furnitur impor dari pada produk mebel usaha kecil, seharusnya pemerintah dalam hal ini Kementerian Perindustrian melindungi industri ini dan memberikan insentif agar bisa meningkatkan ekspor,” kata Ambar.
Menurutnya, selama ini industri permebelan lebih banyak bergerak mandiri tanpa menggantungkan pada program pemerintah. Pemerintah seharusnya berinisiatif memberikan proteksi bagi produk yang menjadi aset ekspor nasional tersebut.
Sebenarnya, lanjut Ambar, kalangan usaha kecil di industri permebelan tanah air memiliki tingkat daya saing yang cukup baik karena memiliki kualitas dan ciri khas tersendiri sesuai dengan karakteristik daerah penghasilannya.
“Tapi sebaik apapun produk permebelan dari usaha kecil, kalau tidak ada perlindungan dari pemerintah  pada akhirnya bisa menjadi tertekan karena pasarnya terlalu dibebaskan,” katanya. “Padahal sektor ini berkontribusi menyerap devisa dari ekspor dan menyerap banyak tenaga kerja.”(tri/B)

Sel Surya Buatan Dalam Negeri Justru Dipesan Luar Negeri

JAKARTA, JUMAT - Sel surya dari industri dalam negeri yang sedang dirancang Wilson Walery Wenas dari Institut Teknologi Bandung, dengan investor Bakrie Power dan investor dari Amerika Serikat, justru sudah dipesan pembeli dari luar negeri.
Pemesanan sebesar 10 megawatt (MW) datang dari Spanyol dan harus bisa dipenuhi Mei 2009. Sementara itu, pemesanan dari konsumen dalam negeri sama sekali belum ada, padahal kapasitas produksinya 90 MW per tahun.
Wilson ketika dihubungi Kompas dari Jakarta, Kamis (9/10), mengatakan, lokasi industri sel surya yang masih tahap persiapan itu berada di Cikarang, Jawa Barat, dengan nama perusahaan Nano-PV. Jenis sel surya yang akan diproduksi berupa sel surya generasi kedua, yaitu sel surya thin film (lapisan tipis) dari hasil temuan Wilson yang kini sudah dipatenkan.
"Teknologi yang saya temukan itu nanti akan digabungkan dengan teknologi dari Amerika Serikat," kata Wilson.
Termurah di dunia
Harga komersial sel surya yang diharapkan, menurut Wilson, bisa mencapai 0,8-0,9 dollar AS per watt. "Harga demikian akan menjadikan sel surya Nano-PV menjadi yang termurah di dunia," kata Wilson.
Beberapa waktu sebelumnya, Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman mengatakan, industri sel surya memiliki produk akhir yang ramah lingkungan. Akan tetapi, pada proses pembuatannya harus dicermati karena tergolong tidak ramah lingkungan.
Menanggapi persoalan ini, Wilson mengatakan, pembuatan sel surya pada generasi pertama diakui memang tidak ramah lingkungan. Penggunaan logam berat merkuri masih dominan.
"Namun, tidak demikian halnya untuk produksi sel surya generasi kedua yang tidak mengandalkan penggunaan logam berat merkuri," kata Wilson menjelaskan.
Menurut Direktur Pusat Teknologi Konversi dan Konservasi Energi pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Arya Rezavidi, kebutuhan dalam negeri terhadap sel surya sebetulnya cukup tinggi. Pada tahun 2025, pemerintah menargetkan pemanfaatan energi yang berasal dari sel surya mencapai 800 megawatt. Padahal, kapasitas terpasang saat ini baru mencapai 10 megawatt.
Dengan target yang cukup ambisius tersebut, menurut Arya, semestinya setiap tahun pemerintah menargetkan penginstalan sel surya dengan kapasitas 40 megawatt. Namun, target ini belum tercapai. (NAW)

TINGKAT KONSUMSI BAJA PERLU DI TINGKATKAN

Jakarta, 19 Oktober 2010 (Business News)
Direktorat Industri Material Dasar Logam, Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur, Kementerian Perindustrian, melaporkan tingkat konsumsi baja di Indonesia saat ini masih rendah dibanding negara-negara lain. Rendahnya tingkat konsumsi baja tersebut berdampak pada lambannya perkembangan industri baja di Indonesia. I Gusti Putu Surya Wiryawan, Direktur Industri Material Dasar Logam menyampaikan hal tersebut kepada Business News (Senin, 18/10) di Jakarta.
Dibandingkan tingkat konsumsi baja di Indonesia dengan negara tetangga Malaysia. Di Malaysia, tingkat konsumsi baja sudah mencapai di atas SOO kilogram/ kapita/tahun, sedangkan di Indonesia baru 30 kilogram/ kapita/tahun. Di Korea Selatan, tingkat konsumsi bajanya lebih tinggi lagi, yakni mencapai 1 ton per kapita/tahun. Baja merupakan bahan yang banyak dipakai oleh sebagian besar industri manufaktur untuk pembuatan infrastruktur seperti jembatan. Oleh karena itu, bertekad mengembangkan industri baja sebagai basis dari industri manufaktur.
Namun, untuk membangun industri baja tidak bisa dilakukan oleh setiap pelaku usaha, karena industri ini merupakan industri padat teknologi dan padat modal. Oleh karena itu, pemerintah mendorong pelaku usaha lokal untuk menggandeng mitra strategis baik pengusaha lokal maupun asing guna mengembangkan industri baja. Industri bajabenar-benar butuh pengusaha yang menguasai teknologi tinggi serta memiliki modal besar".
Baja tidak bisa disamakan dengan tepung. Setiap konsentrat bijih besi cara pengolahannya menggunakan teknologi spesifik. Mineral seperti besi, tembaga, dan logam lainnya juga tidak bisa serta merta ada alat peleburannya di dalam negeri. Oleh karena itu, pemerintah saat ini masih membuka kran impor untuk produk baja yang belum bisa diproduksi di dalam negeri. "Kita tidak bisa menghindari impor karena kemampuan dalam negeri belum mempunyai teknologi yang spesifik untuk memproduksi dan mengolah baja dan besi".
Pelaku usaha agar tidak perlu khawatir akan terjadinya banjir impor produk baja, karena pemerintah sudah punya mekanisme penyaringannya. Untuk melindungi konsumen dalam negeri, pemerintah menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk besi dan baja. Hingga saat ini, pemerintah telah menerapkan sebanyak enam SNI wajib untuk produk besi dan baja. Meskipun demikian, pemberlakuan SNI perlu dilakukan secara berhati-hati, karena bisa berpotensi mengganggu kinerja industri hilirnya.
SNI juga harus memberi keuntungan bagi konsumen dan produsen. Bagi produsen, penerapan SNI bisa memperbesar market share di dalam negeri. Sedangkan bagi konsumen, akan terhindar dari produk-produk non-standar yang tidak terjamin mutunya. "Hal ini sekaligus dalam rangka melindungi pasar dalam negeri akibat adanya ASEAN-China FTA". (ST)
(Business News)

Saatnya Industri Lampu Domestik

JAKARTA, KOMPAS.com — Asosiasi Industri Perlampuan Indonesia (Aperlindo) memperkirakan besaran impor lampu hemat energi tahun 2010 akan menurun jika dibandingkan tahun lalu. Ini saatnya industri dalam negeri mengambil kesempatan untuk memenuhi konsumsi dalam negeri.
Ketua Aperlindo John Manopo mengatakan besaran impor per Juli 2010 saja menunjukkan penurunan yang sangat tajam dari besaran impor lampu hemat energi pada Juli 2009. Tak tanggung-tanggung, penurunan impor mencapai 10 juta lampu.
John mengakui penurunan disebabkan oleh pelaksanaan pengetatan impor melalui syarat pre-shipment inspection (PSI) yang diterapkan pemerintah. "Jadi ini kesempatan bagi industri dalam negeri untuk berkembang karena konsumsi masyarakat tinggi lho, sampai 200 juta lampu," ujarnya di kantor Kementerian Perdagangan, Kamis (19/8/2010) malam.
Menurut perhitungan Aperlindo, besaran impor lampu hemat energi pada Juli 2010 hanya sebesar 7,06 juta lampu. Bandingkan dengan besaran impor pada Juli 2009 sebesar 17,61 juta lampu.
Dalam lima bulan ke depan, John mengatakan besarnya impor tidak akan jauh berbeda dengan angka impor pada Juli 2010. Pasalnya, saat hari besar di bulan Agustus dan September akan ada penurunan prioritas membeli lampu hemat energi.
Sementara pada bulan Oktober, perayaan hari kemerdekaan Republik Rakyat Tionghoa akan memengaruhi besaran produksi lampu hemat energi yang siap diekspor.
Dengan perkiraan ini, John memprediksi total impor hingga akhir tahun ini tak akan melebihi total impor tahun lalu yang mencapai 135,54 juta lampu. Total impor tahun 2010 hingga Juli mencapai 85,51 juta lampu. Diperkirakan, tidak akan menembus angka 130 juta lampu hingga akhir tahun. "Jadi yang 70 juta lampu kan harus dipenuhi dalam negeri," tandasnya.

Ancam Industri Nasional, Permendag Nomor 39 Harus Dicabut!

JAKARTA - Terbitnya Permendag Nomor 39/2010 tentang ketentuan impor barang jadi oleh produsen menimbulkan berbagai polemik.  Peraturan yang diterbitkan sejak 4 Oktober 2010 lalu dinilai mengancam keberlangsungan industri nasional di Tanah Air, baik sektor industri strategis, menengah, maupun kecil (UKM) disarankan untuk segera dicabut.

“Aturan tersebut secara tidak langsung telah merugikan, bahkan mengakibatkan industri-industri dalam negeri mati secara perlahan-lahan,” ujar Ketua Kelompok Komisi VI DPR RI Refrizal dalam keterangan tertulisnya kepada okezone, di Jakarta, Selasa (19/10/2010).

Seperti diketahui, Permendag Nomor 39 Tahun 2010 merupakan peraturan yang membuat produsen dapat mengimpor barang jadi terkait kegiatan industrinya. Sebelumnya, produsen hanya boleh mengimpor barang modal atau bahan baku atau mentah.

Namun, Permendag ini memberi keleluasaan setiap produsen mengimpor barang jadi secara utuh. Tentu saja hal itu akan berdampak buruk terhadap kinerja industri nasional. Permendag ini rencananya akan mulai diberlakukan secara efektif mulai 1 Januari 2011.

Dia pun mencontohkan, membanjirnya produk-produk asing seperti China, yang sebagian besar ilegal sehingga harganya sangat murah, telah banyak mematikan produk-produk dalam negeri. “Yang ilegal saja dapat mematikan industri dalam negeri, apalagi bila dilegalkan,” ungkapnya.

Untuk itu, dirinya pun menuding Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu tidak berjiwa nasionalis dan berpihak pada industri dalam negeri. Dia juga meminta Mendag agar jangan terlalu liberal. Menurutnya, Indonesia harusnya belajar pada negara mitra dagang yang sebelum perberlakuan pasar bebas begitu protektif terhadap produk lokal mereka sendiri.

“Harusnya Mendag membangun industri dalam negeri melalui pengamanan pasar domestik yang saat ini tengah digalakkan untuk mencegah deindustrialisasi dan menurunnya daya saing," tandasnya.(adn)(rhs)

PROSPEK INDUSTRI GALANGAN DALAM NEGERI MASIH MENJANJIKAN

Jakarta, 31 Agustus 2010 (Business News)
Prospek industri galangan dalam negeri masa sekarang ini masih menjanjikan, walaupun sejak adanya kebijakan azas cabotage diberlakukan tidak mampu diantisipasi oleh kapasitas yang ada. Akibatnya banyak kapal-kapal berbendera merah putih yang melakukan pemeliharaan/reparasinya ke luar negeri. Hal ini disebabkan karena industri galangan nasional selama kurun 4 tahun terakhir (2005 - 2009) tidak melakukan penambahan kapasitasnya.
Menurut catatan Direktorat Industri Maritim dan Jasa Keteknikan Dirjen Industri Alat Transportasi dan Telematika, Kementerian Perindustrian bahwa prospek industri galangan dalam negeri cukup menjanjikan. Hanya diakuinya dalam lima tahun terakhir ini di mana diberlakukannya azas cabotage, terjadi penambahan sejumlah 3.000 unit kapal berbendera Merah Putih sehingga kapal niaga nasional sekarang ini mendekati jumlah sekitar 10.000 unitdengan kebutuhan kapasitas untuk reparasi lebih dari 10 juta Dwt.
Sementara kapasitas industri galangan nasional tidak bertambah sejak tahun 2005. Jumlah kapal niaga nasional sejak kebijakan tersebut diberlakukan tidak mampu diantisipsi oleh industri galangan nasional, hampir sekitar 8% - 9% kapal bendera merah putih itu terpaksa melakukan pemeliharaannya di luar negeri.
Diakuinya, banyak pihak meremehkan kemampuan dan kapasitas industri galangan kapal nasional untuk membangun kapal-kapal besar. Namun kenyataaanya tidaklah demikian, karena ternyata industri galangan nasional juga mampu mengerjakan pekerjaan bangunan baru hingga 40.000 Dwt. Apalagi sekarang ini operator pelayaran juga sudah lebih suka untuk membangun kapalnya di industri galangan dalam negeri. Contohnya pemesan pembangunan kapal-kapal cargo baru dari luar negeri juga sudah banyak yang diselesaikannya.
Diharapkan para pengusaha pelayaran dalam negeri juga mau membangun kapal-kapal barunya pada industri galangan dalam negeri. (V)

Produk Ban Dalam Negeri 43 Juta Unit Pertahun

PESATNYA industri otomotif di Indonesia ternyata juga berimbas pada industri ban. Industri berbahan baku karet tersebut kini mendapat dukungan dari Kantor Kementerian Perindustrian, yang mengusulkan keringanan pajak bagi industri ban.
Direktur Jenderal Industri Agro dan Kimia, Kementerian Perindustrian, Benny Wachyudi mengungkapkan memberikan fasilitas berupa insentif tax allowance sesuai Peraturan Pemerintah nomor 62 tahun 2009 dan mendorong penyediaan fasilitas untuk mendukung industri hilir karet.”Diantaranya dengan pengadaan gas untuk mendukung industri ban,” ujarnya.
Pemberian fasilitas itu karena sebagian besar produksi karet dalam negeri diperuntukkan bagi industri ban. “Kalau produksi karet adalah 2,5 juta ton. Maka 25 persennya atau sekitar 400-500 ribu ton diperuntukkan bagi industri ban,” kata Benny.
Kapasitas produksi ban di dalam negeri saat ini, lanjutnya, adalah sebesar 59 juta unit per tahun. Sementara, industri ban sudah mampu memproduksi 43 juta unit, dimana yang 36 juta unit  diserap pasar dalam negeri untuk menunjang industri otomotif.
Karena melihat pasar dalam negeri  sudah tercukupi, Kemenperin berencana mengarahkan produksi ban dari investor asing baru untuk pasar ekspor.
Salah satu calon investor di industri ban adalah Hankook Tire Co. Ltd, dari Korea Selatan yang berencana investasi ban di Indonesia sebesar 600 juta dolar AS. Hankook akan memproduksi 15 juta unit ban per tahun. “Kami minta, 75-80 persen produk ban untuk kendaraan bermotor biasa yang akan diproduksi Hankook untuk diekspor,” kata Benny.
Tapi, lanjut Benny, untuk ban yang dipergunakan pada alat berat seperti truk pertambangan bisa diperuntukkan bagi pasar dalam negeri. “Kalau ban untuk heavy duty, 100 persen produksi untuk pasar dalam negeri juga tidak masalah. Sebab, ban jenis itu masih kita impor,” ujarnya.(tri/B)

Asing pertanyakan Regulasi Industri Farmasi Nasional

(Businessreview) - Minat investor asing menanamkan modalnya di Indonesia relatif rendah akibat terlalu banyaknya regulasi yang kurang kondusif.
Kondisi tersebut terlihat dari rendahnya pangsa pasar perusahaan farmasi asing yang hanya 30% dari total pasar produk farmasi di Tanah Air.

Beberapa regulasi yang dinilai menghambat perkembangan industri farmasi nasional a.l. Permenkes No.1010/2008 tentang Registrasi Obat, Permendag No.45/2009 tentang Angka Pengenal Importir (API), dan pembatasan kepemilikan saham asing maksimal 75% yang tertuang dalam ketentuan DNI (daftar negatif investasi).

Kali ini Asosiasi Perusahaan Farmasi Asing di Indonesia (International Pharmaceutical Manufacturer Group/IPMG) mengaku terancam dengan Permenkes No 1010/2008 tentang Registrasi Obat.
Pasalnya, sekitar 12 dari 26 perusahaan farmasi asing anggota IPMG tidak mempunyai pabrik di Indonesia. Namun, mereka tetap mengimpor dan memasarkan obat di Indonesia. Permenkes itu dinilai menyulitkan karena 12 perusahaan tersebut kemudian dikategorikan sebagai pedagang besar farmasi (PBF) sehingga tidak lagi bisa meregistrasi obat impor.

Termuat dalam Permenkes tentang Registrasi Obat menyebutkan bagi perusahaan farmasi asing yang ada di Indonesia dan tidak mempunyai pabrik diwajibkan memiliki fasilitas pengemasan di Tanah Air. Aturan baru itu ditetapkan dalam revisi Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 1010/2008 tentang Registrasi Obat.

Direktur Eksekutif IPMG Parulian Simanjuntak mengaku, pihaknya belum bisa menerima penyempurnaan regulasi tersebut "Kami meminta penyempurnaan regulasi yang menngklarifikasi, perusahaan farmasi asing yang tidak mempunyai pabrik bukan PBF. Tapi, pemerintah seperti malu-malu menegaskan, meski tidak mempunyai pabrik, tetap merupakan industri farmasj dan bisa meregistrasi obat impor," kata Parulian

Dia menambahkan, seharusnya pemerintah mempertimbangkan aspek globalisasi yang juga merambah sektor farmasi. Kebijakan produsen farmasi multinasional mene-rapkan pemetaan basis produksi. Dengan konsep itu, produsen farmasi tidak harus membangun pabrik di setiap negara, demi alasan efisiensi.

"Toh,selama ini kami sudah melakukan toll manufacturing Aw. toll repackaging (maklon) di industri farmasi yang ada di Indonesia. Lalu, kenapa harus menambah kapasitas yang tidak perlu," tanya Parulian.

Dalam revisi permenkes itu juga diatur, registrasi obat impor hanya bisa dilakukan oleh industri farmasi di dalam negeri. "Definisi industri farmasi dalam permenkes tersebut diubah menjadi industri yang melakukan satu atau dua aspek kegiatan. Misalnya, perusahaan farmasi yang melakukan kegiatan pengemasan itu memenuhi syarat sebagai industri," kata Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Sri Indrawati

Semula, Permenkes No 1010/ 2008 menetapkan, registrasi obat impor dilakukan oleh industri farmasi dalam negeri yang mendapat persetujuan tertulis dari industri farmasi di luar negeri. Persetujuan tertulis mencakup alih teknologi dengan ketentuan paling lambat dalam jangka waktu 5 sudah dapat diproduksi di dalam negeri. Permenkes tersebut mengecualikan obat paten.

Pemerintah mengaku, permenkes sebelum revisi diterbitkan untuk menertibkan PBF-PBF yang ada di Indonesia danmencegah penyalahgunaan izin registrasi obat impor. Selain itu, aturan tersebut ditujukan guna menarik minat investasi asing untuk membangun pabrik farmasi di Indonesia.

Namun, IPMG menilai, Permenkes tersebut justru mengganggu kenyamanan berusaha di Indonesia. "Setelah penyempurnaan atau revisi terakhir, tidak akan ada lagi polemik terkait kebijakan ini. Saat ini, masih dalam proses, hampir final," tegas Sri Indrawati.

Sri Indrawati mengungkapkan, pemerintah juga menyempurnakan pasal 9 mengenai obat impor dalam Permenkes No 1010/2008 tentang Registrasi Obat Dia menerangkan, obat impor diutamakan untuk obat program kesehatan masyarakat, obat penemuan baru, dan obat yang dibutuhkan tapi tidak dapat diproduksi di dalam negeri.

"Kategori itu disempurnakan menjadi, obat impor mencakup semua obat yang tidak bisa diproduksi di Indonesia. Hal itu menyusul adanya beberapa kebijakan perusahaan farmasi global yang melakukan merger. Misalnya, tadinya ada obat yang diproduksi di Indonesia. Tapi, karena merger, produksinya dipindakan ke negara lain. Obat itu tetap bisa diimpor," pungkas Sri Indrawati.

Industri Baja Dukung Kelistrikan Nasional

Keberadaan industri baja dalam negeri ternyata tak kalah bersaing dengan produk luar negeri.  Bahkan dalam pengembangannya, industri baja dalam negeri dengan berbagai produk olahannya, mampu mendukung pengembangan kelistrikan nasional.
Hal itu terungkap dalam kunjungan Dirut PLN Dahlan Iskan saat meninjau industri baja di PT Gunung Garuda, PT Gunung Raja Paksi dan PT Gunung Gahari Buhara dan PT Bukit Terang Paksi Galvanizing (Gunung Steel Group ) di Bekasi, kemarin (28/4) Setelah kunjungan selama lebih satu jam di area industri baja seluas 200 hektare, dengan tenaga kena lebih dari lima ribu orang. Dahlan mengaku kagum dengan kemampuan industri baja dalam negeri yang dapal menunjang pengembangan kelistrikan nasional.
"Ternyata kita punya pabrik begitu besar. Setelah mendapatkan gambaran seperti ini, kita akan diskusikan sebagai tindak lanjutnya. Ternyata potensi produksi baja dalam negeri begitu besar, guna menopang pengembangan kelistrikan," terang Dahlan saat ditemui usai meninjau lokasi pabrik.Bahkan, kata Dahlan, banyak sekali komponen kelistrikan yang bahan-bahannya bisa dibuat dan dihasilkan di pabrik besar ini. "Untuk apalagi kita mengandalkan impor, sementara sedapat mungkin kita bisa hasilkan produk-produk kelistrikandalam negeri, melalui industri dalam negeri," tuturnya.
Corporate Advisor Gunung Steel Group, Moh Rapsel Ali, menambahkan, seyogyanya pelaku maupun pengguna produk baja dan komponennya lebih menggunakan produk baja yang dihasilkan produsen dalam negeri. Mengingat hasil produksi baja yang diproduksi anak bangsa, tidak kalah bersaing. "Upaya ini harus ditopang dengan kebijakan pemerintah yang pro terhadap industri dalam negeri. Jangan import minded," ujarnya.Saat kunjungan ke lokasi industri. Dahlan Iskan didampingi Komisaris Utama Gunung Steel Group Dr. Chairuddin dan Direktur Kenji Pangestu Corporate Advisor Moh. Rapsel Ali dan Basri Cako, serta Ketua Umum Asosiasi Pabrikan To-wct Indonesia (Aptindo) Ahmad Fahmi.
Fahmi menuturkan, sebenarnya kemampuan industri baja dalam negeri sangatbaik dan memenuhi kebutuhan baja dalam negeri. "Kalau dari sisi kualitas kita semua bisa merasakan bagaimana kemampuan produksi kita yang tak kalah dengan kualitas produk luar negeri. Kualitas tidak menjadi persoalan sama sekali. Kita mampu menghasilkan baja berkualitas tinggi dengan harga bersaing," tuturnya.Namun, lanjutnya, pemerintah Indonesia gamang karena terlalu terikat peraturan perdagangan global. Padahal, peraturan itu tidak mengikat begitu ketat. Dikatakannya, pemerintah perlu mengetahui kebijakan perdagangan luar negeri, sehingga itu bisa menjadikan masukan penting dalam menentukan kebijakan dalam negeri.
Pelaku industri baja dalam negeri sebenarnya tidak meminta kepada pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang sifatnya proteksi terhadap produk luar negeri untuk menjaga industri baja dalam negeri. "Yang kita perlukan adalah suatukondisi permainan yang sehat. Artinya ketika kita berkompetisi, maka kita berkompetisi dengan cara sehat," tuturnya.Dicontohkannya, struktur kebijakan industri dalam negeri berbeda dengan negara lain, termasuk regulasi dukungan pemerintah dengan pemerintah luar negeri tidak sama. Dalam konteks ini. kala Fahmi, diperlukan satu intensif tambahan hagi pelaku domestik, sehingga bisa berkompetisi dalam suasana seimbang. "Pada saat suasana itu seimbang, maka potensi domestik, kita yakin sangat mampu bersaing dengan sangat baik." jelasnya
Ditegaskannya, pemerintah harus secara konsisten mampu memperjuangkan kepentingan dalam negeri secara nyala. Dirinya melihat importir hampir sebagian besar selalu mendapatkan insentif cukup baik dari pemerintahnya masing-masing. sementara Indonesia tidak mendapatkan hal itu.

Ingat! Barang Rp 5 Miliar Wajib Produk Dalam Negeri

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengadaan barang dan jasa pemerintah wajib menggunakan produk dalam negeri jika nilai proyek pengadaannya mencapai Rp 5 miliar ke atas. Sebelumnya, pengadaan barang ini tidak pernah diatur seperti itu. Langkah ini diharapkan mampu mendorong industri dalam negeri dalam memasok produk berkualitas di pasar domestik.

Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengungkapkan hal tersebut di Jakarta, pekan lalu, saat memaparkan poin-poin penting pada Rancangan Final Revisi Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang menjadi cikal bakal undang-undang pengadaan barang dan jasa. Rancangan undang-undang itu kini sudah di tangan DPR dan menunggu pembahasan dengan pemerintah.

Dalam penjelasan capaian program 100 hari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Wakil Presiden Boediono di sektor ekonomi terungkap bahwa pemerintah memberikan insentif berupa preferensi harga kepada peserta tender pengadaan barang yang menggunakan produk dalam negeri paling besar.

Preferensi harga diberikan jika kandungan produk lokalnya ada pada kisaran 25-40 persen. Preferensi harga diberikan dalam bentuk pemenangan tender kepada pengusaha tertentu meskipun nilai pengadaan barangnya lebih tinggi 10 persen dari peserta tender lainnya.

Sebagai gambaran, jika seorang pengusaha A menyampaikan nilai pengadaan barangnya sebesar Rp 5,005 miliar, panitia lelang tetap akan memenangkan pengusaha tersebut meskipun ada peserta tender lain yang menyampaikan nilai pengadaan barang lebih rendah dari Rp 5,005 miliar.

”Aturan pengadaan barangnya menjadi lebih memberikan kepastian, lebih transparan, bisa dipertanggungjawabkan, dan lebih mudah. Hanya saja penggunaan produk dalam negeri menjadi prioritas. Dulu memang disebutkan pengaturannya sekarang lebih ditegaskan,” ujar Hatta.

Aturan penggunaan produk dalam negeri ini akan signifikan terasa oleh industri domestik karena nilai pengadaan barang pemerintah sekitar Rp 350 triliun per tahun. Itu artinya Rp 87,5 triliun hingga Rp 140 triliun akan mengalir pada industri penghasil produk lokal.

Penunjukan langsung

Pemerintah juga merancang peningkatan batas atas pengadaan barang yang dilakukan secara langsung atau penunjukan langsung tanpa melalui tender. Sebelumnya, penunjukan langsung hanya bisa dilakukan pada pengadaan barang bernilai di bawah Rp 50 juta, sekarang dinaikkan menjadi maksimal Rp 100 juta, khusus untuk konstruksi. Adapun untuk pengadaan jasa konsultasi ditetapkan maksimal Rp 50 juta. Sebelumnya hal ini tidak pernah diatur.

”Namun, pengadaan secara langsung ini tidak bisa dilakukan begitu saja, tetapi harus mengikuti berbagai ketentuan. Misalnya barang-barang yang memang diproduksi di dalam negeri. Lalu yang kita perlukan itu memang untuk kebutuhan darurat,” ungkap Hatta.

Secara terpisah, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida S Alisjahbana mengungkapkan adanya pengaturan khusus terhadap pengadaan barang dan jasa pada industri kreatif. Perlakuan khusus ini dinyatakan dengan adanya jenis tender baru untuk industri kreatif, inovatif, dan berunsur budaya, yakni melalui sayembara atau kontes. ”Aturan ini khusus untuk mendorong industri kreatif di dalam negeri,” ujar Armida.

Selama ini metode pemilihan penyedia barang dan jasa hanya ditetapkan empat macam, yakni pelelangan umum, pelelangan terbatas, pemilihan langsung, dan penunjukan langsung.

Dalam revisi Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 ini ditetapkan ada dua tambahan metode, yakni adanya pelelangan sederhana dan pemilihan melalui sayembara atau kontes.

Batas pengadaan barang dengan pelelangan sederhana adalah maksimal Rp 200 juta. Ini berlaku baik untuk pengadaan barang dan jasa konstruksi maupun penentuan jasa konsultan. Pelelangan sederhana ditetapkan untuk mempercepat pelaksanaan pemilihan penyedia barang atau jasa. (OIN)

http://bisniskeuangan.kompas.com

Ditargetkan 30 Persen Diisi Produk Dalam Negeri

JAKARTA (Suara Karya): Setidaknya 30 persen dari total belanja barang dan modal pemerintah 2010 yang mencapai Rp 189,2 triliun bisa dipenuhi oleh produk dalam negeri. Untuk merealisasikannya, Kementerian Perindustri bersama kementerian dan instansi pemerintah terkait akan terus melakukan sosialisasi tentang produk-produk dalam negeri yang dibuat oleh industri-industri nasional.Staf Ahli Menteri Perindustrian Bidang Iklim Usaha dan Investasi Roosmariharso mengatakan, produk dalam negeri juga diharapkan bisa memenuhi kebutuhan belanja modal dari badan usaha milik negara (BUMN) yang pada 2010 ini mencapai Rp 167 triliun. Dalam hal ini, optimalisasi penggunaan produk dalam negeri untuk pengadaan barang di lingkungan pemerintah dan BUMN akan berdampak positif terhadap perkembangan industri manufaktur nasional serta industri pendukungnya.
Menurut dia, pengutamaan penggunaan produk dalam negeri dalam pengadaan barang di lingkungan pemerintah sudah diatur dalam Keppres Nomor 80 Tahun 2003 dan terakhir Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Selain itu juga ada Inpres Nomor 2 Tahun 2009 tentang Penggunaan Produksi Dalam Negeri. Sebagai petunjuk pelaksana juga diterbitkan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 49 Tahun 2009 tentang Pedoman Penggunaan Produksi Dalam Negeri dan perubahannya dalam Permenperin Nomor 102 Tahun 2009.
"Juga diterbitkan Permenperin Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pembentukan Kelompok Kerja dan Sekretariat Tim Nasional Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (P3DN). Selain di pusat, juga akan dibentuk tim P3DN di tingkat daerah, terutama provinsi. Provinsi Jawa Barat dan Riau sedang memproses pembentukan tim P3DN ini, juga ada sejumlah pemerintah kabupaten/kota," ujar Roosmariharso.Lebih jauh dia menjelaskan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), yang juga merupakan anggota dari Timnas P3DN, akan melakukan audit penggunaan produksi dalam negeri pada pengadaan barang/jasa di lingkungan pemerintah. Jika pada 2009 tercata hanya 15 persen, maka diharapkan penggunaan produk dalam negeri sudah mencapai 30 persen. (Andrian)

BPMIGAS Targetkan 30 Persen Penggunaan Komponen Jasa Dalam Negeri

JAKARTA – Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS) terus mengusahakan agar pemanfaatan komponen dalam negeri pada industri hulu migas semakin meningkat. Tahun ini, BPMIGAS menargetkan penggunaan 30 persen komponen dalam negeri untuk seluruh belanja jasa yang digunakannya.

Demikian diutarakan Kepala BPMIGAS R. Priyono saat penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Corporate Sales dengan Garuda Indonesia di Balai Kartini, Jakarta, Jumat (5/3). Hadir dalam penandatangan tersebut Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar dan perwakilan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).

Kerja sama ini menjadi salah satu bentuk implementasi upaya peningkatan komponen dalam negeri. MoU tersebut berjangka waktu dua tahun dengan nilai Rp 1 triliun dan akan melingkupi bidang pelayanan penumpang dan kargo.

Priyono menjelaskan, investasi industri hulu migas dari tahun ke tahun semakin meningkat. Tahun 2009, realisasi investasi mencapai US$ 10,87 miliar (sekitar Rp 10 triliun). Sedangkan berdasarkan program dan budget yang telah disetujui BPMIGAS, direncanakan pada tahun ini investasi akan mencapai US$ 15,9 Miliar (sekitar Rp 15 triliun).

Peningkatan investasi ini merupakan peluang tersendiri bagi perusahaan-perusahaan penunjang kegiatan migas, baik barang maupun jasa dalam negeri, termasuk perusahaan jasa layanan penerbangan untuk ikut memanfaatkan peluang yang ada.

Pangsa pasar jasa penerbangan di industri hulu migas cukup besar. Berdasarkan data BPMIGAS, nilai pengeluaran seluruh KKKS dalam penggunaan jasa penerbangan mencapai Rp 350 miliar pada 2007, Rp 385 miliar pada 2008, dan Rp 400 miliar di tahun 2009. Jumlah ini akan terus meningkat seiring bertambahnya kontraktor yang berinvestasi di Indonesia.

Selain dengan Garuda Indonesia, BPMIGAS telah menandatangani beberapa kerja sama untuk mendukung peningkatan pemanfaatan sumber daya nasional. Antara lain, kesepakatan bersama dengan PT. Dirgantara Indonesia untuk mengoptimalkan penggunaan pesawat terbang di industri hulu migas dan kesepakatan dengan Kementerian Riset dan Teknologi serta BPPT untuk memanfaatkan penguasaan teknologi nasional

BPMIGAS juga meningkatkan penggunaan fasilitas Bank BUMN untuk transaksi pembayaran KKKS dan penyimpanan dana abandoment dan site restoration termasuk terus mendayagunakan kapasitas BUMD, koperasi, dan pengusaha-pengusaha lokal di tingkat daerah sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan.

Dia mengatakan, langkah ini dilakukan agar industri strategis ini dapat memberikan manfaat yang lebih maksimal bagi kemakmuran rakyat. Sebagai pengawas dan pengendali kegiatan hulu migas, BPMIGAS ingin menjadi lokomotif penggerak aktivitas ekonomi Indonesia dengan mendukung dan menumbuhkembangkan kapasitas nasional agar mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional.

Industri Baja Nasional Ibarat Tikus Mati Dilumbung Padi

Jakarta (Berita): Tak jelas nasib industri baja nasional. “Ibarat Tikus mati di lumbung padi”. Bahan bakunya tergantung impor. Padahal cadangan bijih besi di dalam negeri melimpahruah baik di Sumbar atau Aceh umpamanya.
Ironisnya, hasil tambang bijih besi di dua daerah tersebut justeru diekspor ke luar negeri untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Padahal industri kita dalam negeri kekurangan bahan baku.
Inilah salah satu bukti ketidaksingkronan program pemerintah setiap hari berretorika mendorong pertumbuhan industri dalam negeri. Padahal kalau bijih besi itu dialokasikan untuk konsumsi  pabrik baja nasional, dipastikan memberikan multiplayer effect. Dunia usaha tak repot- repot mengeluarklan kocek biaya impor. “Aneh bukan. Inilah Indonesia”.
Seperti diketahui, program Pemerintahan Kabinet Indonesia jilid II menargetkan industri baja nasional tidak lagi mengimpor bahan baku untuk memenuhi kebutuhan produksinya pada tahun 2014.
“Menurut saya tahun 2014 terlalu lama. Kalau pemerintah pusat- daerah berkordinasi dengan baik, hasil tambang bijih besi dari Sumbar dan Aceh jangan lagi diekpor. Harganya murah, hanya sekitar 150 dolar AS per ton . Nah sebelum UU keluar, sebaiknya pusat- daerah harus berkordinasi dengan baik.
Kenakan pajak ekspor yang tinggi,” tegas Dirut PT Krakatau Stil Fazwar Bujang kepada wartawan dalam diskusi forum wartawan industry (Forwin), Rabu (24/8) di Jakarta. ‘’Kalau bijih  besi tersebut diolah lagi tentu akan memberikan nilai tambah yang lumayan besar, sekitar 600  dolar AS per ton,’’ujarnya.
Pada kesempatan itu Fazwar juga menyayangkan keputusan Pemda memberikan izin penambangan bijih besi di berbagai daerah yang cadangannya hanya 10.000 ton. Padahal kata dia, praktek itu hanya akan merusak lingkungan semata, kemudian ditinggalkan pnambangnya berlubang- lubang.
“Kalau hanya segitu cadangannya, Pemda sebaiknya jangan  keluarkan izin penambangan. Merusak lingkungan, berlubang- lubang lalu ditinggalkan,” paparnya.
Putu Suryawirawan, Direktur  Industri  Logam Kemenperin menegaskan  bijih besi yang diekspor  selama ini adalah “tanah air”.
“Itu namanya ekspor tanah air. Kualitasnya rendah karena belum diolah. Makanya harganya murah, sekitar 17. dolar AS per ton. Sebaiknya diolah dulu baru diekspor untuk nilai tambah,” katanya.
Sementara Dirjen ILMTA (Industri Logam, Mesin, Tekstil dan Aneka, Ansari Bukhari mengatakan, penerapan pajak eskpor untuk bijih besi sulit diterapkan. Pasalnya, di Indonesia sendiri belum ada industri khusus produksi bijih besi.
“Selama ini kegaiatan penambangan bijih besi itu lebih banyak dilakukan oleh masyarakat luas dan menjual langsung ke luar negeri secara mentah, tanpa diolah terlebih dahulu. Jadi nilai ekonominya rendahnya sekali,’’ujar Ansari
Ditambahkan Ansari, berdasarkan UU Minerba (Mineral dan Batubara)  yang akan  berlaku   pada 2014, bahan baku bijih besi tidak boleh diekspor lagi. Kebijakan itu diterapkan guna  memenuhi pasokan   bahan baku industry baja nasional.
“Tahun 2014 industri besi baja kita harus lebih maju. Siap bersaing. Karenanya sektor hulu harus dikelola dengan baik sehingga kita tidak tergantung bahan baku impor. Kebutuhan bahan baku dalam negeri sekitar 2,5 sampai 3 juta ton. Nah yang diekspor sekarang ini sekitar 6 juta ton dengan harga 150 dolar per ton,” imbuhnya.  (oloan siregar)

Geluti Industri Puluhan Tahun, RI Masih Impor Mur dan Baut Motor

Jakarta - Perkembangan industri sepeda motor di Tanah Air sudah berlangsung selama puluhan tahun. Tingkat komponen kandungan lokal produk sepeda motor buatan Indonesia konon sudah mencapai 95%.

Artinya ada 5% komponen sepeda motor yang dibuat di Indonesia masih diimpor. Apa sajakah itu?

Ketua Umum Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) Gunadi Sindhuwinata mengatakan 5% komponen yang masih dimpor oleh industri sepeda motor adalah komponen yang jika dibuat di dalam negeri tak akan memenuhi skala ekonomis.

"Sejumlah yang 5% itu misalnya komponen gear, material baja, baut, dan mur. Kalau kita buat di dalam negeri tak akan mencapai nilai ekonomis," kata Gunadi di sela-sela acara Jakarta Motorcycle Show di JCC, Jakarta, Rabu (3/11/2010).

Gunadi menambahkan jika dilihat dari sisi persentase penciptaan nilai tambah di dalam negeri terhadap komponen-komponen sepeda motor. Justru persentasenya masih rendah yaitu hanya sampai 80% saja.

Artinya hanya 80% rata-rata dari komponen sepeda motor telah benar-benar diolah di dalam negeri dan menghasilkan nilai tambah yang lebih besar.

Sementara itu Wakil Menteri Perindustrian Alex Retraubun mengatakan jika melihat dari tingkat kandungan komponen lokal industri sepeda motor di Tanah Air sudah mencapai 95%, maka patut menjadi suatu kebanggaan. Hal ini bermakna sepeda motor yang dibuat di Indonesia sudah mendekati 100% buatan asli Indonesia.

"Tingkat komponen dalam negeri hampir 95%," katanya.

Alex menuturkan industri sepeda motor masuk dalam katagori industri alat angkut yang masuk dalam industri yang  diprioritaskan pemerintah.

Perkembangannya akan selalu mendapat dukungan pemerintah karena berkontribusi besar bagi penerimaan negara dan penciptaan lapangan kerja.

"Industri kendaraan sepeda motor masuk dalam industri alat angkut. Periode 2005-2009 tumbuh rata-rata 28,5% per tahun, ini di atas rata-rata pertumbuhan industri 5,1%. Roda dua tumbuh positif kecuali 2006 turun karena kenaikan BBM dan 2009 karena krisis global," kata Alex.
detikFinance 

Menperin: Bangkitkan industri perkapalan nasional

SURABAYA, kabarbisnis.com: Kondisi industri galangan dalam negeri akhirnya mulai bangkit dan bergeliat. Masa kebangkitan industri perkapalan tanah air sudah mulai dirasakan seiring dengan pemberlakuan asas cabotage. Kondisi tersebut, menurut Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat, bisa dilihat dari banyaknya tender pembangunan kapal baru yang dimenangkan oleh berbagai galangan kapal dalam negeri.

"Satu minggu yang lalu, PT PAL Indonesia telah mendapatkan tender pembangunan kapal perusak (destroyer) dari Kementerian Pertahanan dengan nilai Rp4,5 triliun. Rencananya akan diselesaikan selama empat tahun," kata MS Hidayat di Surabaya, Kamis (26/8/2010).
Keberhasilan PT PAL mendapatkan tender tersebut, menurut Hidayat, menjadi starting point dalam pertumbuhan industri perkapalan tanah air.

Yang teranyar, empat galangan kapal dalam negeri juga telah mendapatkan tender pembangunan kapal tanker dari PT Pertamina dengan nilai investasi sebesar US$87,38 juta.

Empat galangan kapal tersebut adalah PT Dumas Tanjung Perak Shipyard, PT Daya Radar Utama, PT Dok Perkapalan Surabaya, dan PT PAL Indonesia.

Dengan perincian, dua kapal ukuran 17.5 long ton dead Weight (LTDW) akan dibangun di PT PAL dengan nilai investasi US$25,2 juta untuk satu unit kapal dan US$24,12 juta untuk satu unit kapal lainnya. Satu kapal 6.500 LTDW dibangun di PT DPS dengan nilai investasi US$14,45 juta dan dua kapal ukuran 3.500 LTDW dibuat di PT Dumas Tanjung Perak Shipyard serta PT Daya Radar Utama dengan nilai masing-masing sebesar US$11,8 juta.

"Ini artinya, industri perkapalan mulai bergeliat. Ada kepercayaan yang diberikan oleh pemerintah dan perusahaan-perusahaan kepada industri perkapalan dalam negeri," lanjutnya.

Selain itu, Hidayat juga berupaya untuk melakukan negosiasi dengan PT Pertamina agar lebih mengutamakan galangan dalam negeri dalam penetapan pemenangan tender pembangunan kapal besar dengan syarat harus menggandeng mitra perusahaan galangan asing yang memiliki keahlian dan pengalaman dalam pembangunan kapal besar.

Hal ini dimaksudkan agar galangan dalam negeri memiliki pengalaman dalam membangun kapal besar.

"Selama ini, galangan dalam negeri tidak diberikan kesempatan penuh untuk membangun kapal besar. Dengan memenangkan mereka dalam tender tersebut dan mengharuskan mereka bermitra dengan asing, berarti akan
ada transfer knowledge dari industri galangan asing kepada galangan kapal dalam negeri," ungkapnya.

Dengan kondisi ekonomi yang stabil, Hidayat optimistis pertumbuhan industri perkapalan dalam
negeri akan mengalami kenaikan sebesar 15%.
(sumber : kabarbisnis.com, 26 Agustus 2010)

Kamis, 18 November 2010

Industri Sepeda Nasional Masih Jadi 'Tukang Jahit'

Bogor - Indonesia boleh bangga banyak mengekspor produk sepeda ke banyak belahan dunia. Namun sayangnya para produsen sepeda belum sepenuhnya menggunakan merek dalam negeri dalam menembus pasar ekspor.

Industri sepeda dalam negeri ibarat menjadi tukang jahit yang hanya memadukan berbagai merek komponen sepeda menjadi sebuah sepeda utuh.

Ketua Umum Asosiasi Industri Pesepedaan Indonesia (AIPI) Prihadi menuturkan, fenomena ini tidak terlepas dari kondisi pasar sepeda di dunia. Misalnya Eropa banyak menyerap produk sepeda dari Asia termasuk dari Indonesia.

Kondisi ini membuat persaingan antar produsen di negara Asia tinggi mengingat negara-negara pesaing seperti Kamboja, Bangladesh sudah mendapat keringanan bea masuk. Sementara Indonesia masih mendapat pengenaan bea masuk sebesar 11% untuk produk sepeda dari Eropa.

"Kita mau memasukan merek di Eropa ongkosnya besar. Giant saja pemain besar dari Taiwan mengalami kesulitan," kata Prihadi di pabrik United Bike Citeureup, Bogor, Jumat (1/10/2010).

Sehingga kata dia, untuk urusan ekspor memang merek produk sepeda Indonesia masih harus berjuang meraih perhatian pasar ekspor terutama pasar Eropa. Mengingat permintaan ekspor di pasar Eropa tetap menggiurkan.

"Jadi kita ini masih menjadi tukang jahit," katanya.

Prihadi juga menuturkan di pasar dalam negeri sendiri, permintaan sepeda di dalam negeri masih belum bisa ditutupi dari produksi dalam negeri. Dari kebutuhan sepeda dalam negeri sebanyak 5-6 juta unit per tahun, produksi dalam negeri hanya dibawah 2,5 juta unit per tahun, artinya ada 3 juta pasar yang diisi impor.

"Pada tahun 2008 sempat ada impor dari China 6 juta unit," katanya.

Pemain utama sepeda di dalam negeri antara lain Wim Cycle dengan produksi 900.000 unit per tahun, Polygon 400.000 unit per tahun dan United Bike sebanyak 1 juta unit per tahun.

"Perusahaan-perusahaan sepeda ruang untuk menaikan kapasitas masih besar. Kenyataanya sekarang segmen industri kita masih banyak garap menengah keatas, tapi justru yang segmen bawah banyak digarap impor termasuk China," katanya.

Ia mencontohkan, produk sepeda China bisa dijual Rp 400.000 per unit, sementara dibandingkan dengan produk dalam negeri bisa disandingkan dengan produk yang harganya Rp 1 juta per unit namun memiliki kualitas lebih baik.

"Makanya SNI (Standar Nasional Indonesia) sebentar lagi akan dikeluarkan. Produk-produk sepeda China harus memiliki sertifikat SNI," katanya.

Direktur PT Terang Dunia Internusa produsen sepeda United Bike Henry Mulyadi mengakui jika saat ini produsen sepeda dalam negeri lebih banyak menyasar produk sepeda segmen menengah atas.

Sementara segmen bawah atau low end dibawah harga Rp 1 juta banyak digarap oleh produk impor khususnya dari China.

"Kita mencoba membuat produk yang dibawah Rp 1 juta dengan kualitas tetap baik," kata Henry.
(hen/ang) Sumber : detik.com,

Produksi Kaca Dalam Negeri Masih Banyak Diekspor

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebagai negara yang sedang membangun, potensi pasar kaca di Indonesia sangat besar. Sayangnya, produk kaca di Indonesia masih lebih banyak diekspor ke luar negeri.

Hal ini diakui Chief of Safety Glass Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP), Yustinus H Gunawan di Jakarta, Senin (15/11/2010). Produksi kaca yang masih menjadi bahan baku setiap tahunnya mencapai 1,3 juta ton yang diproduksi dari tiga pabrik kaca besar yaitu PT Asahi Mas, PT Mulia Glass dan PT Tossa.

Sementara untuk ekspor kaca mentah tersebut sebesar 50 persen, sedangkan 50 persennya diolah oleh perusahaan-perusahaan pengolah kaca dalam negeri. Sayangnya, setelah diolah, sebagian kaca tersebut diekspor lagi, sehingga kaca untuk konsumsi dalam negeri relatif lebih sedikit.

Artinya bisa diprediksi bahwa produk kaca yang benar-benar dipakai di dalam negeri hanya 40 persen.

"Kita masih banyak mengekspor karena kebutuhan dalam negeri yang masih kecil. Namun tren ke depannya akan semakin meningkat, karena saat ini banyak pembangunan perumahan dan otomotif juga terus meningkat," kata Yustinus.

Disebutkannya, pada 2010 ini, nilai produksi kaca di Indonesia mencapai Rp 5 triliun hingga Rp 7 triliun. Setiap tahunnya selalu tumbuh sekitar 7 persen.

"Tahun depan bakal tumbuh lagi mengingat kebutuhan terus meningkat. Misalnya saja kaca untuk mobil semakin besar, karena produksi mobil dalam negeri juga meningkat," jelasnya.

Menurutnya, di seluruh daerah di Indonesia juga masih banyak rumah-rumah yang tidak berkaca. Hal ini menjadi tantangan produsen kaca untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan harga yang terjangkau, jelasnya, penetrasi pasar kaca di Indonesia bakal meningkat pesat.

Produksi kaca di Indonesia sendiri cukup stabil mengingat bahan bakunya sebagian besar bisa didapatkan dari dalam negeri. Menurutnya, 80 persen bahan baku kaca adalah dari pasir khusus yang banyak terdapat di Indonesia.

Sedangkan sisanya adalah bahan campuran yaitu soda ash (abu soda) masih diimpor dari Jepang. Dengan meingkatnya permintaan, jelasnya, industri kaca di Indonesia membutuhkan investasi baru.

PERLUNYA SINERGI UNSUR ABG DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI FARMASI DALAM NEGERI

Reformasi kesehatan masyarakat telah ditetapkan sebagai salah satu program prioritas pemerintah untuk meningkatkan ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan serta menjamin khasiat dan mutu sediaan farmasi. Dalam hal ini, pemerintah memberikan dukungan untuk pengembangan industri farmasi dalam negeri sebagai upaya kemandirian di bidang kefarmasian. Untuk mendukung program nasional tentang kemandirian Bahan Baku Obat, mulai tahun 2010-2012 BPPT menetapkan “Program Pengkajian dan Penerapan Teknologi Produksi Obat Generik Turunan Beta-Laktam” sebagai program prioritas.

Sebagai langkah awal program tersebut, Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT mengadakan Focus Group Discussion (FGD) “Sinergi Unsur ABG (Academic, Business dan Government) Untuk Membangun Industri Bahan Baku Obat Antibiotik Turunan Beta Laktam”, yang bertujuan untuk melakukan koordinasi program dan pembangunan jaringan kerja nasional dalam rangka mewujudkan industri antibiotika turunan beta-laktam di Indonesia, di Hotel Millennium, Jakarta (11/11).

Menurut Deputi Kepala Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi (TAB) BPPT, Listyani Wijayanti, secara umum kebutuhan obat bagi pelayanan kesehatan nasional sudah mampu dipenuhi oleh industri farmasi dalam negeri. “Namun, Faktanya menunjukkan bahwa lebih dari 90% bahan aktif obat yang dipakai di Indonesia umumnya didatangkan dari luar negeri melalui impor, sehingga menyebabkan rentannya keberhasilan pelayanan kesehatan nasional”.

Melihat kondisi demikian, lanjutnya, diperlukan usaha untuk membangun kemandirian di bidang kefarmasian, khususnya obat essensial generik. “Sinergi antar Kementerian, Lembaga terkait dan pelaku usaha industri farmasi diperlukan untuk mendorong berdirinya industri bahan aktif obat di Indonesia dengan memanfaatkan bioteknologi”.

Berbicara mengeni peran BPPT dalam upaya mendukung program nasional bidang kesehatan,  Wahono Sumaryono, Penasihat Deputi Kepala Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi (TAB) BPPT, sebagai moderator dalam diskusi mengatakan bahwa BPPT berperan sebagai fasilitator dan mediator dalam rangka mendorong dan membackup fungsi pengadaan obat.

“Sudah jelas arahnya, jika BPPT ingin membangun kemandirian di bidang kefarmasian perlu bersinergi bersama-sama dengan Academy, Bussiness dan Government untuk memberikan kontribusi dalam mewujudkan antibiotika beta-laktam”, ujar Wahono lebih lanjut.

Sebagai upaya mendorong sinergi ABG untuk mewujudkan industri antibiotika turunan beta-laktam di Indonesia, Kepala Balai Pengkajian Bioteknologi,  Bambang Marwoto, memberikan alternatif pendekatan dalam membangun industri bahan baku obat antibiotika turunan beta-laktam. “Alternatif pertama dengan badan usaha dalam negeri, kedua kerjasama dengan perusahan asing (joint venture) yang mendirikan industri di indonesia”.

Melengkapi pemaparan dari Bambang Marwoto, Perwakilan dari Kementerian Kesehatan yang menjelaskan mengenai Program Kesehatan Nasional dalam Memenuhi Kebutuhan Obat Generik, Rahbudi Helmi mengatakan bahwa ada yang perlu dipertimbangkan untuk dapat mandiri dalam memproduksi antibiotik di Indonesia. “Upayanya dengan mengoptimalkan kekuatan, mengatasi kelemahan dan memanfaatkan peluang dan memperhatikan tantangan”, jelasnya.

Perwakilan dari Kementrian Perindustrian, Kurnia, turut berkesempatan menyampaikan beberapa Kebijakan Pembangunan Industri Bahan Baku Obat diantaranya harus mengacu pada pengembangan prouksi bahan baku obat dalam negeri, mampu mendorong pendirian “multi purpose plant” guna mengatasi volume pasar bahan baku yang lemah, dan mengkoordinasikan lintas sektoral dalam pengembangan industri dan bahan baku farmasi. (KYRA/humas)

Industri properti siap berlari kencang

Tahun ini menjadi kebangkitan pasar properti dunia, yang ditunjukkan oleh tren kenaikan harga properti terutama untuk hunian. Ditopang pertumbuhan perekonomian dunia yang berangsur-angsur membaik setelah diterpa krisis pada 2008, pertumbuhan pasokan dan permintaan hunian serta penurunan suku bunga pembiayaan sektor ini.
Global Property Guide, perusahaan riset properti dunia, menyimpulkan hal itu dari hasil survei yang dilakukan terhadap 34 negara. Statistik harga hunian tahun lalu memperlihatkan 22 negara meraih pertumbuhan harga dan hanya 11 negara mengalami kejatuhan harga hunian.
Hanya saja, ungkap perusahaan itu dalam situs resminya, kalau melihat pada gambaran secara year-on-year kinerja pasar properti tahun lalu tetap tidak mengembirakan karena sebanyak 18 negara mengalami penurunan harga dan hanya 16 negara yang mengalami kenaikan.
Secara khusus, perusahaan riset pasar properti itu, memberikan perhatian terhadap pemulihan yang sangat cepat terhadap pasar properti di sejumlah negara di Asia, termasuk Indonesia.
Hal senada juga ditunjukkan oleh survei Colliers International, yang menyebutkan sebagian besar investor properti dunia berencana mendongkrak portofolio yang dimilikinya.
Berdasarkan survei, 64% responden menyatakan siap melakukan ekspansi usaha sebagai strategi investasi di pasar properti dalam 12 bulan mendatang dan hanya 20% yang menyatakan hanya akan mempertahankan usaha.
Kepercayaan terhadap pemulihan pasar properti juga ditunjang oleh akses kredit yang diperkirakan bakal lebih mudah. Sebanyak 40% responden menilai pembiayaan dalam 12 bulan mendatang akan lebih mudah.
Cushman Wakefield juga menyebutkan aktivitas investasi global dalam sektor properti akan teras mengalir pada 2010, seiring dengan pemanfaatan surplus dana tunai dari investor-investor kaya dunia.
Kepala Riset Jones Lang LaSalle, Anton Sitorus, mengatakan pasar properti pada awal 2010 cukup baik dibandingkan dengan kuartal rV/2009, meski penyerapannya tidak terjadi di semua lini bisnis properti.
"Pasar properti di Jakarta yang tahun lalu sempat diwarnai berbagai penurunan, baik dari sisi penyerapan maupun hunian, kini mulai menunjukkan tren positif," ujarnya.
Melihat berbagai survei, 2010 tampaknya menjadi tahun kebangkitan bagi investor properti dunia, termasuk Indonesia, untuk mematangkan posisi di basis utamanya, yaitu pasar domestik dan berlari kencang pada tahun berikutnya.
Sementara itu, jika mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), pertambahan jumlah penduduk di kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi pada 2006 hingga 2020 mencapai 8,1 juta jiwa, atau dari 24,5 juta "jiwa menjadi 32,6 juta jiwa.
Dari jumlah tersebut penduduk Jakarta diprediksi bertambah 400 ribu jiwa, dari 8,8 juta menjadi 9,2 juta jiwa. Sedangkan penduduk di kawasan Botabek bertambah 7,7 juta jiwa, dari I5,7juta menjadi 23,4 juta jiwa.
"Sekitar 90% dari 8,1 juta jiwa akan tinggal di Bodetabek karena harga tanah yang sangat mahal di Jakarta. Untuk mengakomodasi pertambahan 8,1 juta penduduk itu dibutuhkan 2,1 juta unit rumah," ujarnya beberapa waktu lalu.
Skenario yang mungkin terjadi, jelas dia, pertambahan 2,1 juta rumah itu terbagi atas 1,9 juta unit rumah tapak (landed house) di Bodetabek, dan 200 ribu unit apartemen di Jakarta. "Sekitar 70% dari 1,9 juta unit rumah akan dibangun di Bodetabek dengan harga dibawah Rp 300 juta per unit" jelas Panangian.
Melantai di bursa
Tak heran, di penghujung 2010, beberapa pengembang besar di Tanah Air bersiap-siap melantai di bursa. Ambil contoh PT Megapolitan Developments, Pengembang yang memulai usahanya menggarap perumahan di Cinere dan siap menyulap wilayah Cimandala, Bogor, menjadi properti terintegrasi atau superblok, berancang-ancang me nawarkan saham ke publik (IPO) pada akhir tahun ini.
Langkah itu untuk menyiasati kebutuhan pendanaan kedepan karena Megapolitan mengklaim sudah menguasai ratusan hektare lahan di beragai lokasi selain di Cimandala.
Pihak manajemen berharap dana dari IPO akan digunakan untuk pengembangan usaha, dana pendukung proyek, dan perencanaan bisnis kedepan.
Deputy Chief Operating Officer Megapolitan Development Laniawati Mati ta mengatakan perusahaan beren-cana menerbitkan 850 juta lembar saham atau 20% dari nilai kepemilikan perusahaan melalui skema IPO.
"Kami sudah sampaikan pernyataan pendaftaran ke bursa, sekarang tinggal menunggu jawaban mengenai kelengkapan dokumen apa saja yang harus kami penuhi untuk IPO," ujarnya.
Adapun PT Agung Podomoro Land Tbk telah mencatatkan saham perdananya pada 13 Oktober melalui penjualan 6,15 miliar saham baru. Perseroan berharap mampu meraup dana Rp2,i5 triliun-Rp2,76 triliun dari hasil IPO itu.
Rencananya, Agung Podomoro akan, menggunakan 35% dari dana hasil penawaran umum perdana (IPO} untuk membayar pinjaman bank.
Utang bank yang akan dibayar per- seroan adalah pinjaman dari PT Bank Permata Tbk sebesar Rp88 miliar yang diperoleh dari fasilitas pinjaman jangka panjang Rp200 miliar untuk pembiayaan proyek Gading Nias dan pelunasan seluruh pinjaman dari JP] Morgan Chase Bank NA Singapura sebesar US$20 juta.
Selanjutnya, sebanyak 35% lainnya dari hasil IPO akan digunakan oleh Agung Podomoro untuk menyelesaikan konstruksi apartemen, hotel, dan kantor di proyek Central Park.
Sisanya, sebesar 30%, akan digunakan untuk akuisisi dan pengemban ngan proyek baru yakni proyek Green1 Lake Sunter dan proyek baru lainnya yang digarap calon emiten properti tersebut dalam 2 tahun ke depan.
Pada pertengahan tahun ini, PT Bakrieland Development Tbk (ELTY) juga mengakuisisi 51% saham PT Bukit Jonggol Asri milik PT Sentul City Tbk (BKSL), di mana jika tidak ada halangan, di kuartal IV/2010 Bukit Jonggol sudah bisa masuk dalam konsolidasi ELTY.
IPO memang menjadi saat yang terpenting yang dilakukan suatu perusahaan privat untuk memperoleh dana tambahan yang digunakan untuk pembiayaan dan ekspansi perusahaan.
Apalagi kalau nilai kapitalisasi properti di Indonesia pada 2010 diperkirakan tumbuh positif 10% menjadi sedikitnya Rpi32 triliun, dibanding tahun sebelumnya sekitar Rpi20 triliun. £*
Sumber:Bisnis Ekonomi Indonesia

Industri Plastik Tercekik Harga Bahan Baku

JAKARTA - Industri plastik hilir kini tercekik harga bahan baku yang terus melonjak dalam beberapa minggu terakhir. Harga bahan baku plastik, polipropilena (PP) dan polietilena (PE) pada Oktober 2010 melonjak 20% USS 1.800/ ton, dibanding September US$ 1.500/ton pada September.
Ketua Asosiasi Plastik Hilir Indonesia (Aphindo) Gunawan Tjokro mengatakan, lonjakan harga bahan baku tidak dapat diteruskan ke harga jual produk akhir. Sebab, produsen khawatir penjualan akan terpangkas jika harga jual dipaksa naik.
"Akibatnya, margin produsen plastik hilir tergerus. Kalau dulu margin keuntungan bisa mencapai 25-30%, kini margin tinggal 3%," ujar dia kepada Investor Daily di Jakarta, Kamis (18/11).
Gunawan menilai, kenaikan harga PP dan PE hanya menguntungkan produsen plastik hulu. Sebab, mereka dapat langsung meneruskan harga jual ke pengguna.
Melambungnya harga PP dan PE disebabkan pergerakan harga minyak mentah yang kini mencapai US$ 88 per barel. Bahkan, harga minyak sempat menyentuh USS 90 per barel pekan silam.
Kenaikan harga minyak mengerek harga nafta sebagai produkturunan. Merujuk data Asosiasi Industri Aromatik, Plastik, dan Olefin Indonesia (Inaplas), harga nafta kini mencapai US$ 800/ton. Akibatnya, harga produk petrokimia berbasis olefin (nafta) terdongkrak. Harga propilena dan etilena yang merupakan bahan baku PP dan PE kini mencapai US$ 1.200/ton.
Gunawan khawatir tingginya harga bahan baku akan membuat industri plastik hilir merugi. Seiring dengan itu, Gunawan meminta pemerintah segera mencabut Peraturan Menteri Keuangan No 19/ PM K.011/2009 tentang Penetapan Tarif BM atas Barang-Barang Impor Produk Tertentu.
Dalam aturan ini, pemerintah menaikkan tarif bea masuk (BM) PP dan PE dari 5% menjadi 15%. Sedangkan impor PP dan PE dari kawasan Asean dibebaskan dari BM, menyusul berlakunya AFTA.
Adanya PMK ini, kata dia, membuat produsen plastik sulit mengimpor bahan baku dari luar Asean, seperti Timur Tengah. Padahal harga bahan baku dari Timur Tengah lebih murah dibanding Asean.
"Kenaikan harga bahan baku juga membuat industri plastik hilir domestik susah bersaing dengan industri plastik hilir impor. Selain itu, pasokan ke pasar juga berkurang," ujar dia.
Menurut Gunawan, krisis pasokan bahan baku juga membuat produsen plastik menunda rencana investasi. "Mau tidak mau PMK itu harus dicabut karena produsen sulit mengimpor bahan baku dari luar Asean," kata dia.
Wakil Ketua Inaplas Budi Susanto Sadiman mengatakan, impor PP dan PE diprediksi melonjak dua kali lipat menjadi 320 ribu ton, dibanding tahun lalu 160 ribu ton, seiring berhenti beroperasinya PT Polytama Propindo, produsen PP nasional, sejak tiga bulan silam. Polytama menyetop produksi setelah tidak mendapat pasokan bahan baku, propilena, dari BUMN migas, PT Pertamina. Kondisi ini terjadi menyusul belum tuntasnya pembayaran utang Polytama ke Pertamina. PT Trans Pacific Indochemi-cal Indotama CTPPD, induk usaha Polytama, memiliki utang kepada Pertamina sebesar US$ 21,5 juta.
"Karena tidak kunjung beroperasi, terjadi kelangkaan PP di pasar. Hal ini mendorong industri plastik mengimpor PP sebanyak-banyaknya dari kawasan Asean," ujar Budi. (c02)
Oleh Harco Kurniawan

Industri musik digital capai Rp1,5 triliun


JAKARTA Bisnis musik dalam betuk digitaldan legal mencapai Rp1,5 triliun atau sepertiga total nilai bisnis musik yang digelar secara ilegal.
Krish Pribadi, Vice President Digital Music and Content Management PT Telkomsel mengatakan saat ini industri musik secara keseluruhan termasuk nada sambung pribadi, nada dering, fulltrack musik digital maupun penjualan dalam bentuk cakram digital (CD) hanya menikmati bisnis senilai Rpl.5 triliun.
"Potensinya besar, hanya saja karena pembajakan [ilegal] maka industri hanya menikmati Rp 1,5 triliun, sedangkan yang ilegal diperkirakan menikmati Rp4,5 triliun," ujarnya kemarin.
Menurut Krish, tantangan di industri seluler adalah mengedukasi pelanggan untuk menggunakan musik legal dan mencari terobosan untuk menghantarkan layanan musik digital yang baik sekaligus terjangkau.
Potensi itu pun belum termasuk potensi pajak yang jika 30%saja sudah lebih dari Rpl triliun.
Telkomsel memayungi bisnis layanan musik digitalnya dengan nama LangitMusik. Selain operator tersebut, pasar juga diperebutkan oleh Indosat. XL Axiata dan operalor global system for mobile operator (GSM) Jainnya maupun operator di jaringan code division multiple access (CDMA).
Sementara itu, layanan pesan singkat masih akan tertinggi hingga 2014 dibandingkan dengan jenis layanan bukan suara (non wices) lainnya seperti musik dan data lnternet.
Layanan telekomunikasi dikelompokkan ke dalam layanan suara dan nonvoices. Layanansuara berupa panggilan, sedangkan nonsuara meliputi SMS, musik, e-mai7, penjelajahan Internet dan layanan nilai tambah.
Di tempat terpisah. Senior Market Analyst International Data Corporation (IDC) Indonesia Bidang Telekomunikasi Rizki Muhamad Ridwan mengatakan layanan telekomunikasi untuk bukan suara masih akan didominasi layanan SMS hingga 2014.
Prediksi kami (IDC) layanan sms masih yang tertinggi hingga 2014, karena masih ada sekitar 40% masyarakat Indonesia yang belum menjadi pelanggan dari operator telekomunikasi," ujarnya kepada Bisnis, kemarin.
Data IDC Indonesia menunjukkan komposisi layanan suara sebesar 58%, sedangkan layanan non suara hanya 42%.
Dia memperkirakan komposisi tersebut pada 2014 akan menjadi sama yakni 50% layanan suata dan 50% layanan bukan suara.
Adapun Mustapa Wangsaatma-dja. Senior General Manager Research and Development Center PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. mengatakan operator telekomunikasi perlu mencari sumber pendapatan lain seiring dengan terus turunnya ARPU operator seluler beberapa tahun belakanganini. (K3O/SEPUDIN ZUHRI) immyunianio@bisnis.cv.id)OLEH ROMI YUNIANTO Bisnis Indonesia

Pertumbuhan Industri Kapal Dalam Negeri Meningkat 15 %

Surabaya - Pertumbuhan Industri kapal dalam negeri mulai bangkit dan terus mengalami peningkatan hingga 15 persen. Bahkan, saat ini sekitar 30 tender kapal akan dimenangkan oleh industri kapal lokal.

Hal ini diungkapkan Menteri Perindustrian, MS Hidayat, usai menyaksikan penandatangan nota kerjasama antara PT DOK dan Perkapalan Surabaya (DPS) dengan PT Pertamina di PT DPS, Jalan Perak Barat Surabaya, Kamis (26/8/2010).

"Saat ini pertumbuhan industri perkapalan mulai bangkit dan sedang berkonsolidasi,"
katanya.

Hidayat juga mengungkapkan, kebangkitan ini berdampak terhadap keuntungan yang besar. Menurutnya, lebih kurang 30 tender yang kemungkinan akan dimenangkan industri kapal lokal.

Hidayat menambahkan, pertumbuhan industri perkapalan sendiri akan terus berkembang
hingga 5 tahun kedepan. "Untuk akhir tahun ini kemungkinan akan ada puluhan sekitar
5-15 persen," pungkasnya.Sumber:detiksurabaya (bdh/bdh)

CAFTA vs Industri Dalam Negeri

Hiruk-pikuk konflik politik dalam pemerintahan Indonesia terus berlanjut menyusul mencuatnya kasus Bank Century, kisruh soal keberadaan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), dan ihwal masalah penegakan hukum yang dinilai masih memprihatinkan Kini tantangan terhadap pei-ekonomean masyarakat industri Indonesia menghadang di depan mata dan kembali menjadi bahan perdebatan di media massa.
Dimulainya penerapan perdagangan bebas China-ASEAN (CAFTA) mulai awal Januari 2010 boleh jadi merupakan babak baru bagi ancaman laju perekonomean industri dalam negeri.CAFTA merupakan kebijakan nasional dalam rangka hubungan bilateral dengan negara lain. Semangat yang dituangkan sebagai bagia. i dari konsekuensi kebijakan pasar bebas adalah untuk memacu persaingan dan pengembangan industri dalam negeri dengan negara lain. Membaca pesan tersebut cukup bijak. Tetapi, relevankah dengan konteks perekonomian keindonesiaan?
Dalam perjalanannya, perjanjian CEPT AFTA sebenarnya sudah dimulai pada 1992 dengan ASEAN FTA, serta berlangsung dengan pembentukan ASEAN Economic Community pada 2003 untuk direalisasikan pada 2015. Pada 2002 disepakati perjanjian komprehensif kerja sama ekonomi ASEAN-China yang menjadi basis negosiasi ASEAN-China AFTA yang dilaksanakan pada 2004. Namun, akhirnya perjanjian CAFTA terealisasi pada tahun 2010.Dalam perdagangan bebas ini pemerintah membentuk tim khusus beranggotakan lintas departemen dan wakil dari dunia usaha untuk mengantisipasi injury industri dalam negri. Hal ini cukup berbeda dengan realitas yang terjadi saat ini.
Setelah diterapkan pasar bebas, -naka biaya masuk adalah 0,0 persen. Sebelumnya produk China masuk ke Indonesia hanya lima persen, tapi harga jual produk China relatif jauh lebih murah ketimbang produk dalam negeri. Apalagi setelah perdagangan bebas im berlangsung, besar kemungkinan harga penjualan barang-barang made in China yang murah meriah lambat laun akan menggeser produk dalam negeri Tentu hal ini memerlukan sikap serius dari pemerintah untuk menanganinya. Sebab, bagaimanapun, hal itu berpotensi mengancam keberlangsungan perekonomian masyarakat industri dalam negri.
Sejak akhir 2009, para perajin sepatu Mojokerto sudah merasakan penurunan pemesanan dari grosir langganan. Menginjak tahun 2010, pesanan pun dilaporkan sepi karena tersaingi oleh produk asal China (Liputan 6 SCTV, 11 Januari 2010). Inilah cermin dari kehawatiran masyarakat Tentu saja hal ini merupakan pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintah karena keputusan yang diambil semula didasarkan pada demi kemajuan perekonomian bangsa. Permasalahannya, bagaimana kalau dampaknya belakangan justru berpotensi merugikan perekonomian nasional?Melihat kondisi pendapatan masyarakat, tentu merupakan kegembiraan tersendiri dengan adanya produk murah asal
China. Masyarakat dengan mudah bisa membeli barang-barang murah sesuai kemampuan kantong masyarakat ketimbang produk buatan dalam negeri yang relatif lebih mahal Yang jelas, hal ini merupakan konsekuensi alami mengingat kondisi sulit yang dialami warga masyarakat Barang-barang murah akan laku di pasaran meski mungkin kualitasnya tidak bisa dipertanggungjawabkan.Apalagi, jika menilik kondisi laju pertumbuhan perekonomian nasional. Dilihat dari indeks produksi industri sedang dan besar pada tiga triwulan pertama tahun 2008, misalnya, hampir semua sektor dalam industri manufaktur di Indonesia menurun. Hanya empat sektor yang menguat, yakni industri makanan dan minuman, industri pengolahan tembakau, industri barang dari kulit dan alas kaki, serta industri furnitur dan pengolahan lainnya (BPS, 2009).
Dari situ kita dapat membaca bahwa perekonomian nasional, khususnya dalam sektor industri, masih labil dan memerlukan sikap keseriusan pemerintah untuk memacunya secara lebih serius lagi Di tengah persaingan pasar bebas industri dunia, tanpa tindakan konkret pemerintah untuk menanganinya dalam bentuk proteksi, maka lambat laun industri dalam negeri akan bangkrut.Sebenarnya kekhawatiran akan dampak negatif perdagangan bebas sudah diperdebatkan oleh para pakar ekonomi Perguruan-perguruan tinggi sendiri beberapa kali sudah mengadakan seminar mengenai efek dari pasar bebas. Sayang, hal itu dilakukan hanya sebatas sebagai wacana diskusi semata, tanpa adanya realisasi tindak lanjut semestinya dari pemerintah.
Mengingat kebijakan CAFTA merupakan bagian dari kebijakan perekonomian nasional, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah. Salah satunya, peraturan mengenai standar barang dan perlindungan konsumen harus dijalankan secara benar. Ini penting sebagai bagian dari kebijakan perlindungan terhadap perindustrian dalam negeri.Tim dari Departemen Perindustrian, yang merupakan tim mulndisiplin dan terdiri dari pakar dan wakil Kadin (Kamar Dagang dan Industri Indonesia), harus berupaya maksimal untuk lebih mempertajam arah dan pri-
oritas industri yang perlu dikembangkan. Ini karena pengembangan industri yang dilakukan pemerintah belakangan terkesan tidak jelas arah dan gambarannya.Dari catatan statistik, tahun 2008 industri yang berkembang di dalam negen sudah menyerap tenaga kerja hingga 70%. Ini membuktikan bahwa sektor industri mampu memberikan terobosan dalam upaya lebih memberdayakan masyarakat serta mengatasi masalah kemiskinan.
Akhirnya, perlu disadari bahwa dampak perdagangan bebas, kalau tidak ditangani secara senus oleh instansi terkait, akan berpotensi mematikan industri dalam negeri. Dampak lebih jauh, sangat mungkin hal itu akan memicu terjadinya PHK (pemutusan hubungan kerja) dan menambah jumlah penganggur akibat industri dalam negeri banyak yang mengalami kolaps. Bagaimanapun, produk dalam negeri tak akan mampu menyaingi membanjirnya produk massal buatan China yang murah meriah.Oleh sebab itu, kebijakan CAFTA rasanya memang perlu dikaji ulang oleh pemerintah supaya dampaknya tidak mengancam keselamatan industri dalam negeri. Harapan besar tergantung pada pemerintah demi eksistensi produk dalam negeri pada masa depan. Dalam upaya meningkatkan perekonomian bangsa, kebijakan-kebijakan perlu diarahkan pada perbaikan ekonomi rakyat Ini penting agar terciptanya masyarakat yang adil, makmur dan sentosa benar-benar bisa direalisasikan. ***Penulis adalah peneliti dari UIN Sunan Kalijaga
Sumber: Oeh Romel Masykuri

Pemerintah Terus Dorong Daya Saing Industri Dalam Negeri

Tampak Siring, VOI News - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan pemerintah akan terus mendorong daya saing industri dalam negeri melalui sejumlah langkah termasuk pembentukan komite inovasi nasional dan komite ekonomi nasional. Berbicara dalam pembukaan pameran kerajinan nasional ke-12 tahun 2010 melalui fasilitas telekonferensi di Istana Tampak Siring, Bali, Rabu siang, Presiden mengatakan, pembentukan komite-komite itu disertai dengan kebijakan yang transparan akan mendorong dunia usaha untuk meningkatkan daya saing produk nasional.

"Di tengah dinamika persaingan pemerintah terus berupaya berpihak antara lain dengan memberikan perlindungan terbaik yaitu memprioritaskan peningkatan daya saing," kata Presiden.

Kepala Negara mengatakan terkait hal tersebut maka dalam rapat kerja yang berlangsung di Istana Tampak Siring sejak Senin (19/4) hingga Rabu (21/4) salah satu yang dilakukan adalah percepatan pembentukan komite inovasi nasional dan komite ekonomi nasional.

Dalam kesempatan itu, Kepala Negara juga meminta kalangan usaha untuk percaya diri menghadapi dimulainya perdagangan kawasan seperti Asean Free Trade Area dan China-Asean Free Trade Agreement. "Sikapi pemberlakuan itu dengan percaya diri, pemerintah akan kerja keras untuk menghasilkan kebijakan yang memperkuat ekonomi nasional," katanya.

Kepala Negara mengatakan dengan kawasan perdagangan bebas, Indonesia mampu mencari peluang untuk menarik investasi. Ia mengatakan,"kita diuji untuk mampu melewati periode transisi dalam era perdagangan. Ini peran kita dalam membangun arsitektur ekonomi dunia yang menguntungkan namun adil."

Sementara itu Ketua Asosiasi Pengusaha Eskpor Impor Handicraft Indonesia Rudy Supit mengatakan, setiap tahunnya sejak 1999 peserta pameran itu semakin meningkat. "Pada 1999 baru 102 pengusaha yang hadiri, pada 2009 terdapat 1.000 perusahaan yang ikut serta dengan nilai perdagangan mencapai Rp 85 miliar dan kontrak sebesar 7,120 juta dolar AS," katanya.

Menurutnya, pada 2010 terdapat 1.116 pengusaha yang ikut serta termasuk dari luar negeri antara lain Malaysia, Tunisia, Pakistan, Jepang, India dan Korea Selatan.

Pameran akan berlangsung selama lima hari sejak Rabu (21/4).Ant/pri/ LPP RRI

12.250 "ballpress" Bisa Runtuhkan Industri Dalam Negeri

Karimun, Kepri (ANTARA) - Dirjen Bea dan Cukai, Thomas Sugijata mengatakan, 12.250 "ballpress" atau karung padat berisi tiga juta pakaian bekas dapat meruntuhkan industri tekstil dalam negeri bila tidak ditegah aparat.

``Jika `ballpress` sebanyak itu (jadi) masuk ke Indonesia, pasti akan meruntuhkan produksi tekstil dalam negeri,`` katanya di Tanjung Balai Karimun, Kamis, setelah meninjau `ballpress" hasil penegahan aparat Kanwil Khusus Bea dan Cukai Kepulauan Riau (BC Kepri) sejak awal Januari 2010.

Menurut Thomas, selain mengancam pasar industri tekstil nasional, bila pakaian bekas dalam jumlah sangat besar tersebut beredar di pasaran, akan berpengaruh negatif terhadap sektor padat karya atau usaha kecil dan menengah bidang pertekstilan

``Potensi kerugian nonmaterial lainnya adalah dapat mengancam tenaga kerja di sektor itu,`` ucapnya.

Dia menjelaskan, setiap "ballpress" berisikan 250 pakaian bekas. Jika diakumulasikan, jumlahnya mencapai 3.052.500 dengan taksiran harga sekitar Rp12,3 miliar.

Pakaian bekas sebanyak itu, kata dia, merupakan hasil penindakan terhadap delapan kapal oleh Kanwil Khusus BC Kepri sejak Januari 2010.

``Bisa dibayangkan dampak yang ditimbulkan jika dijual bebas di pasaran,`` katanya.

Ia menjelaskan, BC tidak hanya berfungsi mencegah penyelundupan, melainkan juga mengemban tugas mengamankan industri dalam negeri terhadap gempuran barang ilegal yang relatif murah karena tidak membayar bea impor.

``Kami punya komitmen kuat dalam melindungi pengusaha dalam negeri,`` ucapnya.

Terkait hasil penindakan tersebut, dia mengapresiasi kinerja BC Khusus Kepri yang mengamankan "ballpress" dalam jumlah besar dengan waktu relatif singkat.

``Dari delapan kapal, enam di antaranya diamankan dalam tiga hari. Ini prestasi yang patut kami apresiasi,`` tuturnya.


API

Di tempat yang sama, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Adi Sudrajat juga mengatakan hal yang sama dan berharap kinerja bea cukai terus ditingkatkan.

``Pencegahan yang luar biasa. Kami berharap bea cukai tidak bosan-bosan berbuat dan terus memperkuat armadanya, baik sumber daya manusianya maupun kapal-kapal yang canggih,`` katanya.

Dia mengakui masuknya pakaian bekas sangat merugikan perusahaan yang terdaftar maupun usaha kecil dan menengah.

Secara nasional, kata dia, jumlah perusahaan tekstil yang memiliki izin lengkap sebanyak 1.678, sedangkan industri kecil dana menengah sekitar 980 perusahaan dengan tenaga kerja mencapai 1.278.000 orang.

``Jika beredar di pasaran, akan berdampak pada tutupnya perusahaan itu, terutama industri rumah tangga serta pemutusan hubungan kerja,`` ucapnya.

Dia menjelaskan, nilai ekspor tekstil pada 2009 menurun dibandingkan tahun sebelumnya dari 10,3 miliar dolar Amerika menjadi 9,5 miliar dolar.

``Meski demikian, kekuatan pasar tekstil dalam negeri cukup kuat jika tidak digempur oleh pakaian bekas ilegal tersebut,`` jelasnya.

Diungkapkannya, 60 persen dari Rp50 triliun kekuatan pasar tekstil dikuasai produk dalam negeri domestik, sisanya sebesar 40 persen diimpor dari Korea dengan nilai impor 2,2 miliar dolar Amerika dan China sebesar 1,2 miliar dolar.

``Meski demikian, produk impor tersebut tidak berbentuk bahan jadi, melainkan bahan baku berbentuk serat untuk industri garmen di Pulau Jawa, yang kemudian dieskpor kembali setelah menjadi bahan jadi,`` jelasnya.

Dia berharap komitmen tinggi dari bea cukai dalam mencegah masuknya pakaian bekas dari dalam negeri terus dipertahankan, sehingga industri tekstil terus diperkuat oleh produk dalam negeri.

``Ketangguhan bea cukai bukan hanya harapan dari pengusaha tekstil, tapi juga sektor usaha lain,`` ucapnya.


Amankan 14 Kapal

Sementara itu, Kepala Kanwil Khusus BC Kepri, Nasar Salim mengatakan, selain mengamankan delapan kapal memuat "ballpres", jajarannya juga menindak enam kapal memuat kayu ilegal yang akan diselundupkan ke Malaysia.

``Sejak 1 Januari, kami mengamankan 14 kapal. Delapan kapal memuat `ballpress` dari Malaysia, sisanya memuat kayu ilegal dengan tujuan negara yang sama,`` katanya.

Nasar mengatakan, berdasarkan hasil penyidikan sementara, muatan delapan kapal tersebut berjumlah 12.250 "ballpress" senilai Rp12,3 miliar dengan tujuan berbagai daerah di tanah air, seperti Sulawesi, Flores, Bali, Buton, Sumbawa dan Wanci-wanci.

Sedangkan kayu ilegal yang akan diselundupkan bernilai sekitar Rp690 juta, berasal dari Kabupaten Meranti dan Bengkalis, Riau, yaitu Kecamatan Belitung, Kecamatan Tebing (Selatpanjang) dan Sungai Kembung.

``Penindakan terhadap `ballpress` karena merupakan barang larangan terbatas dan muatan kayu tidak dilengkapi dokumen pelindung,`` jelasnya.

Saat ini, pihaknya masih memeriksa seluruh nakhoda dan memroses dengan Pasal 102A Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan. (HAM/K004)
COPYRIGHT © 2010

Alutsista TNI AL Utamakan Industri Dalam Negeri

JAKARTA (Pos Kota) – Kepala Dinas Penerangan Angkatan Laut (Kadispenal), Laksamana Pertama TNI Iskandar Sitompul, S.E., mengemukakan bahwa Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) Laksamana Madya TNI Agus Suhartono, SE, mengatakan bahwa tahun 2010 merupakan tahun pertama dari Renstra 2010 – 2014.
Mengawali program kegiatan 2010, Pemerintah melalui Kementerian Pertahanan telah melaksanakan Workshop Nasional dengan tema Revitalisasi Industri Pertahanan. Beberapa penekanan yang perlu diaksi oleh TNI Angkatan Laut berkaitan dengan Revitalisasi Industri Strategis, antara lain bahwa pembangunan kekuatan harus dilakukan terus menerus menuju kekuatan pokok minimum atau Minimum Essential Force dengan konsep Tri Matra Terpadu serta dalam pemenuhannya melibatkan industri pertahanan dalam negeri.
Untuk mencapai sasaran Program Pertahanan 2010, sesuai arah kebijakan Menhan menuju Sistem Pertahanan Negara yang “Pro Kesejahteraan” akan lebih mengoptimalkan perhatian terhadap perumusan dan implementasi berbagai kebijakan pertahanan negara, mengintensifkan peran industri pertahanan, memantapkan soliditas kerjasama Dephan dan TNI, mengembangkan pola pengelolaan wilayah perbatasan dan pulau – pulau terluar, tegas Kepala Stag Angkatan Laut (Kasal), Laksamana Madya TNI Agus Suhartono, SE., pada acara pembukaan Rapat Pimpinan TNI Angkatan Laut Tahun 2010 di Mabes TNI AL Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (27/1).
Rapim TNI AL ini dihadiri Kasum TNI Laksdya TNI Didik Heru Purnomo, Wakasal Laksdya TNI Moekhlas Sidik, MPA, Kalakhar Bakorkamla Laksdya TNI Budhi Hardjo, para pejabat teras Mabes TNI AL, para pemimpin Kotama TNI AL dan para peserta Rapim sebanyak 161 orang. Tema Rapim TNI AL Tahun 2010 adalah “Dengan Membangun Kekuatan Pokok Minimum (MEF) yang Berorientasi pada Konsep Tri Matra Terpadu, TNI Angkatan Laut Siap Melaksanakan Tugas.”
Pada kesempatan tersebut, Kasal juga menyampaikan Pokok – Pokok Kebijakan Panglima TNI Tahun 2010 meliputi pembinaan dan penggunaan kekuatan, antara lain aspek Operasi Militer Perang dan Operasi Militer Selain Perang.
Dengan berpedoman kepada kebijakan Menhan tentang Sistem Pertahanan Negara yang “Pro Kesejahteraan” dan Panglima TNI tentang Pembangunan Kekuatan TNI menuju MEF dengan konsep Tri Matra Terpadu, Kasal Laksdya TNI Agus Suhartono, S.E., memberikan pengarahan tentang langkah – langkah nyata dan komitmen yang perlu diambil oleh jajaran TNI AL dalam rangka membangun TNI AL menuju “Kekuatan Pokok Minimum”, antara lain pengadaan Alutsista dengan mengutamakan pemberdayaan Industri Pertahanan Nasional, peningkatan kemampuan dan pengalihan fungsi beberapa Alutsista, serta penghapusan Alutsista yang sudah tidak efektif sehingga tidak membebani dari segi anggaran.
Pada Rapim TNI AL ini juga dilaporkan hasil- hasil pengawasan dan pemeriksaan oleh Irjenal, laporan komando Pangarmatim dan Pangarmabar, Pangkolinlamil, Komandan Korps Marinir, Komandan Kobangdikal, Gubernur AAL, serta Komandan Seskoal. (dispenal/syamsir)

Berharap Industri ICT Dikuasai Dalam Negeri

Setahun Kinerja Menkominfo 
Jakarta - Genap setahun sudah Tifatul Sembiring mengemban jabatan sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) di Indonesia. Apa saja tanggapan, komentar, harapan, dan saran dari para pemangku kepentingan di industri teknologi infomasi dan komunikasi negeri ini atas kinerja beliau?

"Beberapa hal sudah baik seperti gelaran program USO (Universal Service Obligation) dan komitmen terhadap pengembangan industri lokal. Sementara ini seperti itu," kata Ketua Umum Asosiasi Penyedia Menara Telekomunikasi (Aspimtel) Sakti Wahyu Trenggono, kepada detikINET, Selasa (26/10/2010).

Ia berharap, sektor industri di bidang ICT (teknologi informasi komunikasi) nantinya akan dapat dikuasai oleh bangsa ini.  Sehingga tidak banyak menyedot devisa, tetapi justru meningkatkan multiplayer ekonomi.

"Seperti halnya regulasi tentang struktur industri BWA (broadband wireless access)," kata Trenggono yang juga berbisnis di sektor penyediaan perangkat BWA Wimax.

Suhono Harso Supangkat, Guru Besar TI Institut Teknologi Bandung (ITB), juga masih berharap Tifatul dapat memberikan angin segar untuk dunia ICT di Indonesia.

"Langkah awal cukup baik dengan visi informasi benar dan lancar, hanya saja
memfasilitasi ini tidak sederhana. Di sini menyangkut konten, layanan dan
infrastruktur," katanya. ( rou / rns )  
sumber:detikinet