Jumat, 19 November 2010

Asing pertanyakan Regulasi Industri Farmasi Nasional

(Businessreview) - Minat investor asing menanamkan modalnya di Indonesia relatif rendah akibat terlalu banyaknya regulasi yang kurang kondusif.
Kondisi tersebut terlihat dari rendahnya pangsa pasar perusahaan farmasi asing yang hanya 30% dari total pasar produk farmasi di Tanah Air.

Beberapa regulasi yang dinilai menghambat perkembangan industri farmasi nasional a.l. Permenkes No.1010/2008 tentang Registrasi Obat, Permendag No.45/2009 tentang Angka Pengenal Importir (API), dan pembatasan kepemilikan saham asing maksimal 75% yang tertuang dalam ketentuan DNI (daftar negatif investasi).

Kali ini Asosiasi Perusahaan Farmasi Asing di Indonesia (International Pharmaceutical Manufacturer Group/IPMG) mengaku terancam dengan Permenkes No 1010/2008 tentang Registrasi Obat.
Pasalnya, sekitar 12 dari 26 perusahaan farmasi asing anggota IPMG tidak mempunyai pabrik di Indonesia. Namun, mereka tetap mengimpor dan memasarkan obat di Indonesia. Permenkes itu dinilai menyulitkan karena 12 perusahaan tersebut kemudian dikategorikan sebagai pedagang besar farmasi (PBF) sehingga tidak lagi bisa meregistrasi obat impor.

Termuat dalam Permenkes tentang Registrasi Obat menyebutkan bagi perusahaan farmasi asing yang ada di Indonesia dan tidak mempunyai pabrik diwajibkan memiliki fasilitas pengemasan di Tanah Air. Aturan baru itu ditetapkan dalam revisi Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 1010/2008 tentang Registrasi Obat.

Direktur Eksekutif IPMG Parulian Simanjuntak mengaku, pihaknya belum bisa menerima penyempurnaan regulasi tersebut "Kami meminta penyempurnaan regulasi yang menngklarifikasi, perusahaan farmasi asing yang tidak mempunyai pabrik bukan PBF. Tapi, pemerintah seperti malu-malu menegaskan, meski tidak mempunyai pabrik, tetap merupakan industri farmasj dan bisa meregistrasi obat impor," kata Parulian

Dia menambahkan, seharusnya pemerintah mempertimbangkan aspek globalisasi yang juga merambah sektor farmasi. Kebijakan produsen farmasi multinasional mene-rapkan pemetaan basis produksi. Dengan konsep itu, produsen farmasi tidak harus membangun pabrik di setiap negara, demi alasan efisiensi.

"Toh,selama ini kami sudah melakukan toll manufacturing Aw. toll repackaging (maklon) di industri farmasi yang ada di Indonesia. Lalu, kenapa harus menambah kapasitas yang tidak perlu," tanya Parulian.

Dalam revisi permenkes itu juga diatur, registrasi obat impor hanya bisa dilakukan oleh industri farmasi di dalam negeri. "Definisi industri farmasi dalam permenkes tersebut diubah menjadi industri yang melakukan satu atau dua aspek kegiatan. Misalnya, perusahaan farmasi yang melakukan kegiatan pengemasan itu memenuhi syarat sebagai industri," kata Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Sri Indrawati

Semula, Permenkes No 1010/ 2008 menetapkan, registrasi obat impor dilakukan oleh industri farmasi dalam negeri yang mendapat persetujuan tertulis dari industri farmasi di luar negeri. Persetujuan tertulis mencakup alih teknologi dengan ketentuan paling lambat dalam jangka waktu 5 sudah dapat diproduksi di dalam negeri. Permenkes tersebut mengecualikan obat paten.

Pemerintah mengaku, permenkes sebelum revisi diterbitkan untuk menertibkan PBF-PBF yang ada di Indonesia danmencegah penyalahgunaan izin registrasi obat impor. Selain itu, aturan tersebut ditujukan guna menarik minat investasi asing untuk membangun pabrik farmasi di Indonesia.

Namun, IPMG menilai, Permenkes tersebut justru mengganggu kenyamanan berusaha di Indonesia. "Setelah penyempurnaan atau revisi terakhir, tidak akan ada lagi polemik terkait kebijakan ini. Saat ini, masih dalam proses, hampir final," tegas Sri Indrawati.

Sri Indrawati mengungkapkan, pemerintah juga menyempurnakan pasal 9 mengenai obat impor dalam Permenkes No 1010/2008 tentang Registrasi Obat Dia menerangkan, obat impor diutamakan untuk obat program kesehatan masyarakat, obat penemuan baru, dan obat yang dibutuhkan tapi tidak dapat diproduksi di dalam negeri.

"Kategori itu disempurnakan menjadi, obat impor mencakup semua obat yang tidak bisa diproduksi di Indonesia. Hal itu menyusul adanya beberapa kebijakan perusahaan farmasi global yang melakukan merger. Misalnya, tadinya ada obat yang diproduksi di Indonesia. Tapi, karena merger, produksinya dipindakan ke negara lain. Obat itu tetap bisa diimpor," pungkas Sri Indrawati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar