Jumat, 19 November 2010

Industri Baja Nasional Ibarat Tikus Mati Dilumbung Padi

Jakarta (Berita): Tak jelas nasib industri baja nasional. “Ibarat Tikus mati di lumbung padi”. Bahan bakunya tergantung impor. Padahal cadangan bijih besi di dalam negeri melimpahruah baik di Sumbar atau Aceh umpamanya.
Ironisnya, hasil tambang bijih besi di dua daerah tersebut justeru diekspor ke luar negeri untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Padahal industri kita dalam negeri kekurangan bahan baku.
Inilah salah satu bukti ketidaksingkronan program pemerintah setiap hari berretorika mendorong pertumbuhan industri dalam negeri. Padahal kalau bijih besi itu dialokasikan untuk konsumsi  pabrik baja nasional, dipastikan memberikan multiplayer effect. Dunia usaha tak repot- repot mengeluarklan kocek biaya impor. “Aneh bukan. Inilah Indonesia”.
Seperti diketahui, program Pemerintahan Kabinet Indonesia jilid II menargetkan industri baja nasional tidak lagi mengimpor bahan baku untuk memenuhi kebutuhan produksinya pada tahun 2014.
“Menurut saya tahun 2014 terlalu lama. Kalau pemerintah pusat- daerah berkordinasi dengan baik, hasil tambang bijih besi dari Sumbar dan Aceh jangan lagi diekpor. Harganya murah, hanya sekitar 150 dolar AS per ton . Nah sebelum UU keluar, sebaiknya pusat- daerah harus berkordinasi dengan baik.
Kenakan pajak ekspor yang tinggi,” tegas Dirut PT Krakatau Stil Fazwar Bujang kepada wartawan dalam diskusi forum wartawan industry (Forwin), Rabu (24/8) di Jakarta. ‘’Kalau bijih  besi tersebut diolah lagi tentu akan memberikan nilai tambah yang lumayan besar, sekitar 600  dolar AS per ton,’’ujarnya.
Pada kesempatan itu Fazwar juga menyayangkan keputusan Pemda memberikan izin penambangan bijih besi di berbagai daerah yang cadangannya hanya 10.000 ton. Padahal kata dia, praktek itu hanya akan merusak lingkungan semata, kemudian ditinggalkan pnambangnya berlubang- lubang.
“Kalau hanya segitu cadangannya, Pemda sebaiknya jangan  keluarkan izin penambangan. Merusak lingkungan, berlubang- lubang lalu ditinggalkan,” paparnya.
Putu Suryawirawan, Direktur  Industri  Logam Kemenperin menegaskan  bijih besi yang diekspor  selama ini adalah “tanah air”.
“Itu namanya ekspor tanah air. Kualitasnya rendah karena belum diolah. Makanya harganya murah, sekitar 17. dolar AS per ton. Sebaiknya diolah dulu baru diekspor untuk nilai tambah,” katanya.
Sementara Dirjen ILMTA (Industri Logam, Mesin, Tekstil dan Aneka, Ansari Bukhari mengatakan, penerapan pajak eskpor untuk bijih besi sulit diterapkan. Pasalnya, di Indonesia sendiri belum ada industri khusus produksi bijih besi.
“Selama ini kegaiatan penambangan bijih besi itu lebih banyak dilakukan oleh masyarakat luas dan menjual langsung ke luar negeri secara mentah, tanpa diolah terlebih dahulu. Jadi nilai ekonominya rendahnya sekali,’’ujar Ansari
Ditambahkan Ansari, berdasarkan UU Minerba (Mineral dan Batubara)  yang akan  berlaku   pada 2014, bahan baku bijih besi tidak boleh diekspor lagi. Kebijakan itu diterapkan guna  memenuhi pasokan   bahan baku industry baja nasional.
“Tahun 2014 industri besi baja kita harus lebih maju. Siap bersaing. Karenanya sektor hulu harus dikelola dengan baik sehingga kita tidak tergantung bahan baku impor. Kebutuhan bahan baku dalam negeri sekitar 2,5 sampai 3 juta ton. Nah yang diekspor sekarang ini sekitar 6 juta ton dengan harga 150 dolar per ton,” imbuhnya.  (oloan siregar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar