Kamis, 18 November 2010

Industri Plastik Tercekik Harga Bahan Baku

JAKARTA - Industri plastik hilir kini tercekik harga bahan baku yang terus melonjak dalam beberapa minggu terakhir. Harga bahan baku plastik, polipropilena (PP) dan polietilena (PE) pada Oktober 2010 melonjak 20% USS 1.800/ ton, dibanding September US$ 1.500/ton pada September.
Ketua Asosiasi Plastik Hilir Indonesia (Aphindo) Gunawan Tjokro mengatakan, lonjakan harga bahan baku tidak dapat diteruskan ke harga jual produk akhir. Sebab, produsen khawatir penjualan akan terpangkas jika harga jual dipaksa naik.
"Akibatnya, margin produsen plastik hilir tergerus. Kalau dulu margin keuntungan bisa mencapai 25-30%, kini margin tinggal 3%," ujar dia kepada Investor Daily di Jakarta, Kamis (18/11).
Gunawan menilai, kenaikan harga PP dan PE hanya menguntungkan produsen plastik hulu. Sebab, mereka dapat langsung meneruskan harga jual ke pengguna.
Melambungnya harga PP dan PE disebabkan pergerakan harga minyak mentah yang kini mencapai US$ 88 per barel. Bahkan, harga minyak sempat menyentuh USS 90 per barel pekan silam.
Kenaikan harga minyak mengerek harga nafta sebagai produkturunan. Merujuk data Asosiasi Industri Aromatik, Plastik, dan Olefin Indonesia (Inaplas), harga nafta kini mencapai US$ 800/ton. Akibatnya, harga produk petrokimia berbasis olefin (nafta) terdongkrak. Harga propilena dan etilena yang merupakan bahan baku PP dan PE kini mencapai US$ 1.200/ton.
Gunawan khawatir tingginya harga bahan baku akan membuat industri plastik hilir merugi. Seiring dengan itu, Gunawan meminta pemerintah segera mencabut Peraturan Menteri Keuangan No 19/ PM K.011/2009 tentang Penetapan Tarif BM atas Barang-Barang Impor Produk Tertentu.
Dalam aturan ini, pemerintah menaikkan tarif bea masuk (BM) PP dan PE dari 5% menjadi 15%. Sedangkan impor PP dan PE dari kawasan Asean dibebaskan dari BM, menyusul berlakunya AFTA.
Adanya PMK ini, kata dia, membuat produsen plastik sulit mengimpor bahan baku dari luar Asean, seperti Timur Tengah. Padahal harga bahan baku dari Timur Tengah lebih murah dibanding Asean.
"Kenaikan harga bahan baku juga membuat industri plastik hilir domestik susah bersaing dengan industri plastik hilir impor. Selain itu, pasokan ke pasar juga berkurang," ujar dia.
Menurut Gunawan, krisis pasokan bahan baku juga membuat produsen plastik menunda rencana investasi. "Mau tidak mau PMK itu harus dicabut karena produsen sulit mengimpor bahan baku dari luar Asean," kata dia.
Wakil Ketua Inaplas Budi Susanto Sadiman mengatakan, impor PP dan PE diprediksi melonjak dua kali lipat menjadi 320 ribu ton, dibanding tahun lalu 160 ribu ton, seiring berhenti beroperasinya PT Polytama Propindo, produsen PP nasional, sejak tiga bulan silam. Polytama menyetop produksi setelah tidak mendapat pasokan bahan baku, propilena, dari BUMN migas, PT Pertamina. Kondisi ini terjadi menyusul belum tuntasnya pembayaran utang Polytama ke Pertamina. PT Trans Pacific Indochemi-cal Indotama CTPPD, induk usaha Polytama, memiliki utang kepada Pertamina sebesar US$ 21,5 juta.
"Karena tidak kunjung beroperasi, terjadi kelangkaan PP di pasar. Hal ini mendorong industri plastik mengimpor PP sebanyak-banyaknya dari kawasan Asean," ujar Budi. (c02)
Oleh Harco Kurniawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar