Kamis, 18 November 2010

Mendongkrak Penggunaan Produk Dalam Negeri

Indonesia masih dihadapkan pada problem besar berupa tingginya serbuan barang-barang impor. Di saat yang sama, harapan terdongkraknya penggunaan produk-produk domestik melalui penerapan regulasi dan program stimulan seperti kampanye program cinta produk dalam negeri seperti mengalami mati suri. Tingginya serbuan impor, terlihat dari tingginya prosentase pertumbuhan nilai impor dibanding ekspor. Data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sepanjang semester I/2010, impor non migas tumbuh 46,52% atau setara USD46,77 Miliar dari total impor yang meningkat 51,99% setara USD62,89 miliar dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara ekspor non migas hanya tumbuh 38,37% setara USD59,36 miliar dari total ekspor 44,83% atau USD72,52 miliar.

Dalam periode yang sama, nilai impor berdasar golongan penggunaan barang mengalami peningkatan untuk semua golongan. Impor barang konsumsi misalnya, meningkat sebesar 61,14%, bahan baku/penolong sebesar 55,90%, dan barang modal sebesar 35,91%.

Terlepas dari tingginya impor, upaya pemerintah mendorong masyarakat domestik memilih barang/jasa produk dalam negeri sendiri sepertinya belum mampu berbuat banyak. Penerapan regulasi agar penggunaan produk dalam negeri terdongkrak, bahkan melalui program-program seperti 'Aku Cinta Produk Indonesia' tampaknya masih sulit direalisasikan.

Anehnya, rendahnya kesadaran memanfaatkan barang/jasa produk dalam negeri terjadi pada lembaga-lembaga pemerintah sendiri. Mengutip kajian Kelompok Kerja Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (Pokja-P3DN) KADIN Indonesia (2010), terdapat beberapa kementerian/lembaga yang gemar menggunakan produk impor dibanding produk dalam negeri. Diantaranya Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perhubungan. Diduga, keempatnya rata-rata hanya menggunakan sekitar 15% dari anggaran untuk belanja produk dalam negeri.

Rendahnya pemanfaatan produksi industri dalam negeri, namun di saat yang sama masih banyak bergantung pada produk-produk impor patut disayangkan. Ada banyak resiko seperti kehilangan manfaat ekonomis baik berupa tergerusnya potensi cadangan devisa, terus melemahnya daya saing produk domestik, maupun sulitnya mendongkrak penciptaan lapangan kerja sebagai efek tingginya ketergantungan pada produk impor .

Perpres 54/2010
Baru-baru ini, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 pengganti Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dalam Peraturan Presiden tersebut ditekankan priorisasi penggunaan produk-produk dalam negeri sebagai bagian dari optimalisasi pemanfaatan produk dalam negeri.

Penekanan tersebut setidaknya dibahas dalam porsi yang cukup luas, Terdapat empat pasal, yakni Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, dan Pasal 99, yang terangkum dalam Bab VII tentang Penggunaan Barang/Jasa Produksi Dalam Negeri membahas masalah penggunaan produk dalam negeri.

Dalam ayat (1) Pasal 96 misalnya disebutkan, setiap Kementerian/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya wajib melaksanakan beberapa hal dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasanya. Hal-hal dimaksud adalah memaksimalkan penggunaan barang/jasa hasil produksi dalam negeri, termasuk rancang bangun dan perekayasaan nasional dalam pengadaan barang/jasa; memaksimalkan penggunaan penyedia barang/jasa nasional; dan memaksimalkan penyediaan paket-paket pekerjaan untuk usaha mikro dan usaha kecil termasuk koperasi kecil.

Terkait ketentuan penggunaan produk/jasa dalam negeri seperti dijabarkan pada Pasal 96, Pasal 97 ayat (1) menyebutkan, itu dilakukan sesuai besaran komponen dalam negeri pada setiap barang/jasa yang ditunjukan dengan nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Dalam ayat selanjutnya ditegaskan, penggunaan produk dalam negeri wajib digunakan bila terdapat penyedia barang/jasa yang menawarkan barang/jasa dengan nilai TKDN ditambah nilai Bobot Manfaat Perusahaan (Nilai BMP) paling sedikit 40%.

Optimasi penggunaan produk/jasa dalam negeri dalam Pasal 96 juga ditegaskan dengan priorisasi pemilihan penyedia antara penyedia lokal dan asing. Dalam ayat (5) pasal tersebut ditegaskan bahwa dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa diupayakan agar penyedia barang/jasa dalam negeri bertindak sebagai penyedia barang/jasa utama, sedang penyedia barang/jasa asing dapat berperan sebagai sub Penyedia Barang/Jasa sesuai kebutuhan.

Kondisi pengecualian priorisasi barang/jasa produk asing seperti melalui impor hanya terjadi dalam tiga kondisi. Ketiganya yaitu barang tersebut belum dapat diproduksi di dalam negeri; spesifikasi teknis barang yang diproduksi di dalam negeri belum memenuhi persyaratan; dan atau, volume produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan.

Bahkan dalam proses impornya, penyedia barang/jasa yang melaksanakan pengadaan harus semaksimal mungkin menggunakan jasa pelayanan yang ada di dalam negeri. Sebut saja dalam proteksi jasa asuransi, angkutan, ekspedisi, pembiayaan perbankan, dan pemeliharannya.

Alhasil, terbitnya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 pengganti Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang banyak menekankan priorisasi pemanfaatan produk dalam negeri menjadi pangkal harapan bagi optimasi penggunaan produk barang/jasa domestik.

Namun, pangkal harapan itu pun sangat bergantung kesadaran lembaga-lembaga publik menjadikan aturan tersebut sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasanya. Bila tidak, kehadirannya akan menjadi sia-sia.

Oleh : Zaenal Muttaqin
Staff Humas LKPP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar