Kamis, 18 November 2010

PERLUNYA SINERGI UNSUR ABG DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI FARMASI DALAM NEGERI

Reformasi kesehatan masyarakat telah ditetapkan sebagai salah satu program prioritas pemerintah untuk meningkatkan ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan serta menjamin khasiat dan mutu sediaan farmasi. Dalam hal ini, pemerintah memberikan dukungan untuk pengembangan industri farmasi dalam negeri sebagai upaya kemandirian di bidang kefarmasian. Untuk mendukung program nasional tentang kemandirian Bahan Baku Obat, mulai tahun 2010-2012 BPPT menetapkan “Program Pengkajian dan Penerapan Teknologi Produksi Obat Generik Turunan Beta-Laktam” sebagai program prioritas.

Sebagai langkah awal program tersebut, Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT mengadakan Focus Group Discussion (FGD) “Sinergi Unsur ABG (Academic, Business dan Government) Untuk Membangun Industri Bahan Baku Obat Antibiotik Turunan Beta Laktam”, yang bertujuan untuk melakukan koordinasi program dan pembangunan jaringan kerja nasional dalam rangka mewujudkan industri antibiotika turunan beta-laktam di Indonesia, di Hotel Millennium, Jakarta (11/11).

Menurut Deputi Kepala Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi (TAB) BPPT, Listyani Wijayanti, secara umum kebutuhan obat bagi pelayanan kesehatan nasional sudah mampu dipenuhi oleh industri farmasi dalam negeri. “Namun, Faktanya menunjukkan bahwa lebih dari 90% bahan aktif obat yang dipakai di Indonesia umumnya didatangkan dari luar negeri melalui impor, sehingga menyebabkan rentannya keberhasilan pelayanan kesehatan nasional”.

Melihat kondisi demikian, lanjutnya, diperlukan usaha untuk membangun kemandirian di bidang kefarmasian, khususnya obat essensial generik. “Sinergi antar Kementerian, Lembaga terkait dan pelaku usaha industri farmasi diperlukan untuk mendorong berdirinya industri bahan aktif obat di Indonesia dengan memanfaatkan bioteknologi”.

Berbicara mengeni peran BPPT dalam upaya mendukung program nasional bidang kesehatan,  Wahono Sumaryono, Penasihat Deputi Kepala Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi (TAB) BPPT, sebagai moderator dalam diskusi mengatakan bahwa BPPT berperan sebagai fasilitator dan mediator dalam rangka mendorong dan membackup fungsi pengadaan obat.

“Sudah jelas arahnya, jika BPPT ingin membangun kemandirian di bidang kefarmasian perlu bersinergi bersama-sama dengan Academy, Bussiness dan Government untuk memberikan kontribusi dalam mewujudkan antibiotika beta-laktam”, ujar Wahono lebih lanjut.

Sebagai upaya mendorong sinergi ABG untuk mewujudkan industri antibiotika turunan beta-laktam di Indonesia, Kepala Balai Pengkajian Bioteknologi,  Bambang Marwoto, memberikan alternatif pendekatan dalam membangun industri bahan baku obat antibiotika turunan beta-laktam. “Alternatif pertama dengan badan usaha dalam negeri, kedua kerjasama dengan perusahan asing (joint venture) yang mendirikan industri di indonesia”.

Melengkapi pemaparan dari Bambang Marwoto, Perwakilan dari Kementerian Kesehatan yang menjelaskan mengenai Program Kesehatan Nasional dalam Memenuhi Kebutuhan Obat Generik, Rahbudi Helmi mengatakan bahwa ada yang perlu dipertimbangkan untuk dapat mandiri dalam memproduksi antibiotik di Indonesia. “Upayanya dengan mengoptimalkan kekuatan, mengatasi kelemahan dan memanfaatkan peluang dan memperhatikan tantangan”, jelasnya.

Perwakilan dari Kementrian Perindustrian, Kurnia, turut berkesempatan menyampaikan beberapa Kebijakan Pembangunan Industri Bahan Baku Obat diantaranya harus mengacu pada pengembangan prouksi bahan baku obat dalam negeri, mampu mendorong pendirian “multi purpose plant” guna mengatasi volume pasar bahan baku yang lemah, dan mengkoordinasikan lintas sektoral dalam pengembangan industri dan bahan baku farmasi. (KYRA/humas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar