Rabu, 08 Desember 2010

Kemendiknas Pilih Software Pendidikan Buatan Asing?

Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) disinyalir tidak melakukan komitmen untuk mengunakan produk dalam negeri.

Seperti diketahui, Keputusan Presiden (Keppres) No 80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah menetapkan, setiap belanja pengadaan barang dan jasa pemerintah harus memenuhi syarat tingkat komponen dalam negeri (TKDN) sebesar 40 persen.

Ketua Klaster Pengembangan Konten Edukasi Hary S Candra mengatakan, Kemendiknas lebih memilih untuk menggunakan produk software atau perangkat lunak pendidikan buatan Malaysia, Singapura, dan Inggris, ketimbang buatan dalam negeri. Hal ini, lanjutnya, sudah terjadi sejak dua hingga tiga tahun terakhir.

“Kita sudah minta ke Komisi X untuk menanggapi ini, namun Komisi X memandang software yang memakai terjemahan sudah tidak bermasalah,” kata Hary.

Melihat respons Komisi X, Hary lalu mengirim surat kepada Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk meminta dukungan. Hary mengaku kecawa dengan sikap Kemendiknas. Pasalnya, industri software pendidikan dalam negeri memiliki kualitas yang jauh lebih bagus dengan produk luar negeri. Padahal, harganya hampir sama.

“Masih belum mengerti mengapa Kemendiknas melakukan hal seperti itu. Padahal negara lain saja sudah banyak yang memakai produk software edukasi buatan Indonesia,” tegasnya.

Selain itu, sambung Hary, produk software yang diimpor dari negara-negara tersebut tidak diakreditasikan terlebih dahulu di Kemendiknas sebelum diedarkan. Padahal, kata dia, seluruh produk software indonesia yang dijual di dalam negeri harus diakreditasi dan lolos uji penyaringan terlebih dahulu.

“Kalau kita ekspor software harus disesuaikan, seperti bendera harus mengunakan warna bendera negara yang dituju, masa software pendidikan yang beredar di kita menggunakan bendera negara lain, ini tidak adil,” paparnya. 

Hary berharap, pemerintah lebih adil dalam memberikan kepastian usaha. Lebih lanjut, Hary mengatakan,  pasar software pendidikan di dalam negeri cukup besar. Hary memperkirakan perputaran bisnis dari produk ini mencapai Rp2 triliun per tahun di Indonesia.

Sementara, Ketua Kelompok Kerja Program Peningkatan Produksi Dalam Negeri (Pokja P3DN) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Natsyir Mansyur sebelumnya pernah meminta agar setiap belanja pengadaan barang dan jasa pemerintah selain harus memenuhi syarat tingkat komponen dalam negeri (TKDN) sebesar 40 persen, juga wajib dicantumkan syarat bahwa barang yang tersebut harus memenuhi standar nasional Indonesia (SNI).

“Jangan lagi sampai ada kementerian atau lembaga yang membeli barang impor, harus dengan TKDN 40 persen. Selain itu, jangan karena ada produk impor yang lebih murah sedikit, produk lokal yang memenuhi TKDN 40 persen diabaikan. Nah, produk-produk itu harus memenuhi SNI,” ujar Natsyir.
(Sandra Karina/Koran SI/rhs)

KEPALA BPPT: OPTIMALKAN TKDN INDUSTRI KETENAGALISTRIKAN NASIONAL

Tingginya penggunaan barang impor di Indonesia, mengakibatkan rendahnya kinerja dan utilitas industri nasional. Jika kondisi ini dibiarkan terus menerus tanpa adanya upaya yang menyeluruh dan bersifat terpadu dari berbagai pihak terkait, baik masyarakat, pemerintah dan pengusaha, maka industri nasional tidak akan pernah mampu bersaing dengan industri luar negeri. Hal tersebut yang melatarbelakangi diselenggarakannya Diskusi Interaktif Implementasi Kebijakan Pemerintah mengenai TKDN Dalam Negeri Atas Kesiapan Industri Domestik Untuk Pengembangan Infrastruktur Ketenagalistrikan Nasional, oleh Kementerian Perindustrian bekerjasama dengan Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia dan PT Pamerindo Buana Abadi, di Surabaya (3/06).
Bertindak sebagai keynote speaker dalam acara tersebut, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Marzan A Iskandar, mengatakan bahwa dalam rangka menumbuh kembangkan industri, diperlukan adanya program peningkatan penggunaan produksi dalam negeri. Disisi lain, mengingat konsumsi masyarakat sampai saat ini belum dapat diharapkan untuk menjadi penarik pertumbuhan ekonomi, maka belanja pemerintah perlu didayagunakan lagi, secara maksimal untuk mengembangkan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (P3DN), imbuhnya.

Pemerintah sebagai salah satu pihak yang berperan penting, telah berkomitmen untuk menciptakan sebuah kondisi yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan industri nasional dalam berbagai aspek. Dalam aspek hukum, khususnya melalui Besaran Nilai TKDN Barang dan Jasa, untuk pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan harus memenuhi Peraturan Menteri (PERMEN) Perindustrian No. 48/M-IND/PER/4/2010 tentang penggunaan produksi dalam negeri dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. PERMEN tersebut telah didukung pula oleh Instruksi Presiden No. 02/2009.

Terkait hal tersebut, Kepala BPPT menambahkan bahwa dalam sidang kabinet yang berlangsung di Tampak Siring April lalu, dari 10 arahan Presiden untuk pembangunan, terdapat beberapa poin yang berkaitan erat dengan pembahasan dalam diskusi. Pertumbuhan perekonomian harus lebih tinggi, ketahanan  energi dan daya saing ekonomi nasional menguat dan meningkat, adalah poin-poin yang diungkap Presiden, yang menurut saya sangat relevan dengan topik pembahasan kita.

Menurutnya, sistem politik pemerintah sudah memberikan dasar kebijakan yang jelas pada kebepihakan industri dalam negeri upaya mendukung ekonomi nasional. Namun faktanya, sampai berakhirnya program pembangunan 10.000 MW tahap 1 dalam negeri belum optimal.

Dengan latar belakang kebijakan dan realita tersebut, serta didorong dengan tantangan berupa program PLTU batu bara skala kecil di 70 lokasi yang tersebar, BPPT dan Kementerian Perindustrian  berinisiatif mengintermediasi dan memfasilitasi pertemuan para pemangku kepentingan untuk memperkuat kolaborasi  sinergi yang berdasarkan Sistem Inovasi Nasional (SIN) dalam forum SIN Industri Ketenagalistrikan Nasional.

Dari hasil diskusi, dapat di simpulkan beberapa hal, seperti (1) Kualitas maupun kapasitas barang dan jasa produksi dalam negeri telah mampu untuk menunjang pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan, (2) Setiap pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh BUMN, BUMD, dan Badan Usaha Swasta (BUS) wajib menggunakan barang/jasa produksi dalam negeri, (3) Industri dalam negeri mampu bertumbuh dengan baik dan diperlukan keberpihakan pemerintah, (4) Ketentuan kewajiban penggunaan barang dan jasa dalam negeri harus dicantumkan didalam dokumen pengadaan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan maupun kontrak pelaksanaan selanjutnya dimonitor implementasinya dan pelaksanaan sanksi apabia terjadi penyimpangan didalam standar mutu dan (5) Diperlukan perencanaan yang kompherensif dan terintegrasi dalam rangka pelaksanaan proyek yang serentak pada 70 lokasi untuk selesai dalam waktu yang relatif singkat. (KYRA/humas)

Impor Mesin Melonjak Hingga 38,7%

Impor mesin mengalami peningkatan sebesar 38,7% sepanjang 10 bulan pertama tahun 2010. Kementrian Perindustriam memprediksi, hingga akhir tahun impor permesinan akan meningkat sampai 30%. Lonjakan impor mesin ini akibat lemahnya kepercayaan terhadap produk permesinan dalam negeri.
Direktur Permesinan dan Alat Mesin Pertanian (Alsintan) Direktorat Jendral Industri Berbasis Manufaktur Kementerian Perindustrian C. Triharso membenarkan terjadi peningkatan impor yang cukup besar.
Dari Triharso menunjukan, pada semester I tahun 2010 terjadi peningkatan impor hampir mencapai 30%. Menurutnya, tingginya impor mesin akibat banyak industri dalam negeri yang belum percaya pada produk mesin buat nasional, terutama untuk sektor energi dan kelistrikan. Baik perusahaan swasta maupun BUMN. “Padahal kalau dilihat secara apple to apple, produk kita mampu bersaing,” kata Triharso di Jakarta, Rabu (1/12).
Dia menyebut, porsi impor mesin di sektor energi dan kelistrikan hampir mencapai sekitar 30-40 % dari total impor mesin. Peningkatan ini sebagai imbas dari adanya proyek pembangkit listrik yang banyak mengunakan mesin-mesin dari China.
Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai impor mesin dan peralatan mesin mekanik (pos tarif 84) selama Januari-Oktober mencapai US$16,32 miliar, naik sekitar 36,6% dibandingkan dengan periode yang sama 2009 sebesar US$11,94 miliar.
Sedangkan, nilai impor mesin dan peralatan listrik (pos tarif 85) sepanjang 10 bulan tahun ini mencapai US$12,74 miliar, melonjak 41,57% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Data BPS juga memperlihatkan, sepanjang 10 bulan pertama 2010, dari sepuluh impor tertinggi, masing-masing menyumbang 18,6% dan 14,52%. Impor mesin dan peralatan mekanik (pos tariff 84) dan mesin dan peralatan listrik (pos tariff 85) merupakan impor terbesar. Pada bulan Oktober, untuk impor mesin dan peralatan mekanik mencatat kenaikan US$454,8 juta. Sementara impor mesin dan peralatan listrik, mengalami peningkatan sebesar US$193 juta.
Hingga Oktober 2010, nilai impor nonmigas untuk 10 golongan barang mencapai US$87,71 miliar, naik 39,98% dibandingkan Januari-Oktober 2009. Berdasarkan persentase kenaikan, lonjakan impor tertinggi dicatat oleh kelompok kendaraan bermotor dan bagiannya (pos tarif 87) yakni 87,8%, disusul besi dan baja (54,5%), kapas (51,6%), plastik dan barang dari plastik.
Menurut Triharso, sebenarnya peningkatan impor dapat ditekan dengan  Program Peningkatan Produk Dalam Negeri (P3DN), terutama pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Selain itu menyakinkan industri tentang kualitas produk dalam negeri. “Indonesia masih lebih mementingkan harga dibandingkan denga kualitas,” terangnya
Sementara itu, utilisasi industri permesinan dalam negeri sendiri sudah meningkat. Saat ini utilisasi berada di kisaran 70%-80%. Dari pantauannya, sebagian industri malah beroperasi tiga shift atau 24 jam per hari untuk melayani permintaan dari dalam negeri.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Mesin dan Perkakas Indonesia (Asimpi), Dasep Ahmadi mengatakan, sebenarnya industri lokal sudah mampu membuat mesin yang mampu bersaing dengan produk impor. “Perusahaan saya (PT Sarimas Ahmadi Pratama) saat ini sudah  mengerjakan 100 unit mesin perkakas dalam dua bulan, dan tahun depan bisa 1.000 unit per tahun,” katanya.
Dia menyebut, selain mensuplai untuk kebutuhan dalam negeri, perusahaannya juga telah melakukan ekspor ke negara-negara lain di Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand, dan Kamboja.
“Untuk menunjang ekspor, kami bekerja sama dengan rekanan di Malaysia sebagai penyedia jasa dan layanan purnajual,” terangnya.
Dasep mengklaim, saat ini pihaknya melibatkan sekitar 30-40 produsen komponen lokal sebagai pemasok bahan baku dengan kandungan lokal produk mencapai 60%.

Impor mesin bekas
Dalam kesempatan itu, Triharso menyatakan, saat ini sedang mengevaluasi perizinan impor mesin bekas untuk tahun depan. Pihaknya mendorong industri domestik agar memproduksi mesin yang selama ini diimpor dalam bentuk bekas seperti mesin fotokopi.
Permintaan mesin bekas, lanjut Triharso, umumnya datang dari pelaku industri kecil dan menengah (IKM) yang membutuhkan mesin dengan presisi tinggi yang belum diproduksi di dalam negeri. Namun, mereka membeli yang bekas karena anggaran yang terbatas.
Sementara itu, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementrian Perdagangan Dedi Saleh membenarkan adanya evaluasi mengenai izin impor mesin bekas. “Kita sedang melakukan evaluasi dengan kementrian terkait,” terangnya.(nurul)

558 Barang dan Jasa Wajib Pakai Lokal

558 produk terbagi dalam 21 kelompok yang secara berkala akan dievaluasi
Sejak 12 Agustus 2009, pengadaan barang dan jasa pemerintah wajib menggunakan 558 produk dalam negeri. 
Daftar produk yang wajib digunakan tersebut termuat dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 49 Tahun 2009 tentang Pedoman Penggunaan Produk dalam Negeri Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Sebanyak 558 produk terbagi ke dalam 21 kelompok barang dan jasa yang secara berkala akan dilakukan evaluasi untuk dilakukan penambahan atau pengurangan daftar.

Selain itu, penyedia barang /jasa diberikan preferensi harga sesuai dengan capaian tingkat komponen dalam negeri (TKDN) tanpa memperhitungkan nilai bobot manfaat perusahaan (BMP). Preferensi harga hanya diberikan kepada perusahaan yang memproduksi barang/jasa dalam negeri dengan TKDN minimal 25%.

Besaran preferensi harga sebesar 30 persen diberikan pengadaan barang, dan 7,5 persen untuk pengadaan jasa yang keduanya dibiayai dengan dana dalam negeri atau dilakukan dengan pola kerja sama antara pemerintah dengan badan usaha.

Sedangkan untuk pengadaan yang dibiayai dana pinjaman atau hibah luar negeri diberikan preferensi harga sebesar 15 persen (barang) dan 7,5 persen (jasa).

Untuk pengadaan jasa konstruksi terintegrasi, selain mendapat preferensi harga sesuai dua konsep sebelumnya, juga mendapat tambahan sebesar 7,5 persen apabila dikerjakan sepenuhnya oleh perusahaan nasional dan minimal 50 persen dari harga penawaran dilaksanakan di wilayah Indonesia.

Jika pengadaan dilakukan konsorsium perusahaan-perusahaan dalam negeri di mana perusahaan nasional bertindak sebagai pemimpin konsorsium, minimal 50 persen dari harga penawaran dilakukan oleh perusahaan nasional dan minimal 50 persen dari harga penawaran dilaksanakan di wilayah Indonesia, akan mendapat tambahan preferensi harga sebesar 5 persen.

Berikut 21 kelompok barang dan jasa yang wajib digunakan dalam pengadaan pemerintah:
1. Bahan Penunjang Pertanian
2. Mesin dan Peralatan Pertanian
3. Mesin dan Peralatan Pertambangan
4. Mesin dan Peralatan Migas
5. Alat Berat, Konstruksi, dan Material Handling
6. Mesin dan Peralatan Pabrik
7. Bahan Bangunan/Konstruksi
8. Logam dan Barang Logam
9. Bahan Kimia dan Barang Kimia
10. Peralatan Elektronika
11. Peralatan Kelistrikan
12. Peralatan Telekomunikasi
13. Alat Transport
14. Bahan dan Peralatan Kesehatan
15. Peralatan Laboratorium
16. Komputer dan Peralatan Kantor
17. Pakaian dan Perlengkapan Kerja
18. Peralatan Olahraga dan Pendidikan
19. Sarana Pertahanan
20. Barang Lainnya
21. Jasa Engineering, Procurement, dan Construction (EPC) dan Jasa Keteknikan
• VIVAnews

Pakai Produk Lokal, Pabrik Peledak Hemat 30%

Proyek pembangunan amonium nitrat melebihi target penggunaan produk lokal.
Penggunaan produk lokal dalam pembangunan pabrik amonium nitrat PT Kaltim Nitrate Indonesia akan menghemat 30 persen.
"Dengan menggunakan kontraktor lokal (PT Rekayasa Industri), bisa efisien sampai 30 persen," kata Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka Departemen Perindustrian Anshari Bukhari, di kantornya, Jalan Gatot Subroto Jakarta, Jumat, 5 Juni 2009.

Anshari menjelaskan, proyek pembangunan amonium nitrat tersebut melebihi target pemerintah dalam mendorong penggunaan produk lokal. "Ini melebihi target kita karena kontraktor lokal telah berhasil mempergunakan proyek PMA dengan kandungan lokal yang cukup tinggi," katanya.

Proyek berkapasitas produksi 300 ribu ton di Bontang Kalimantan Timur itu merupakan proyek patungan PMA Orica Ltd. dari Australia (49 persen) dan PT Armindo Prima (51 persen). Investasi pembangunan pabrik mencapai US$ 350 juta dan Rekayasa mendapatkan kontrak pembangunan senilai US$ 173,9 juta.

Dengan menggandeng Rekayasa, pembangunan pabrik amonium nitrat menggunakan kandungan lokal mencapai 45 persen. "Local content terdiri dari besi baja, kabel listrik, peralatan listrik, peralatan proses baik itu tangki dan penukar panas, seluruh pekerjaan konstruksi, rancang bangun untuk utilitas dan pekerjaan persiapan pengoperasian pabrik," ujarnya.

Menurut Anshari, dengan melibatkan produk lokal akan bisa meningkatkan efisiensi. "Proyek lebih bisa hemat investasinya," kata dia.

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 49/2009 tentang Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang dikeluarkan sebulan lalu diperkirakan akan berlaku efektif pada Juli atau Agustus 2009. "Tapi dalam perjalanannya, sudah banyak yang melakukan sesuai peraturan," ujarnya. VIVAnews

Pengusaha Minta Batas Minimal 15%, Pemerintah sudah menetapkan batas maksimal TKDN sebesar 40%

Pengusaha penunjang migas yang tergabung dalam Gabungan Usaha Penunjang Minyak dan Gas (Guspenmigas) meminta Departemen Perindustrian memberikan batas minimal dalam penghitungan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN).

Pemerintah sudah menetapkan batas maksimal TKDN sebesar 40 persen.
Dalam Permenperin No. 49/2009 tentang petunjuk teknis Inpres No. 2/2009 yang mengatur tentang Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, jika industri dalam negeri sudah mampu memenuhi syarat TKDN 40 persen, lelang hanya dibuka untuk industri dalam negeri.

"Kami mengusulkan penghitungan TKDN ada batas minimal 15 persen," kata Ketua Dewan Pimpinan Guspenmigas Willem Siahaya ketika ditemui di lingkungan kantor Departemen Perindustrian Gatot Subroto Jakarta,
Menurut Willem, jika tidak diberikan batas minimal, dikhawatirkan perusahaan dengan TKDN yang tinggi kalah dengan TKDN yang rendah dalam proses lelang.

"Pemerintah hanya memberikan batas maksimal TKDN 40 persen," ujarnya.

Jika tidak dibatasi 15 persen, dia mengkhawatirkan, importir akan bisa ikut tender. "Itu tidak fair, kalau  tidak ada minimal, importir yang punya agen bisa ikut tender," kata dia.

Omzet usaha penunjang migas mencapai rata-rata US$ 10 miliar, sebesar 20 persen di antaranya diperoleh dari dalam negeri.

Akomodasi Usulan
Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka Depperin Anshari Bukhari mengaku akan mengakomodasi usulan tersebut.

Anshari yang sekaligus Ketua Tim Teknis Program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) mengatakan usulan tersebut masih memungkinkan untuk diakomodasi meski Menteri Perindustrian telah mengeluarkan petunjuk teknis (juklak) Inpres No.2/2009 dalam Permenperin No. 49/2009.

Inpres tersebut mengatur tentang Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

"Masukan-masukan akan diakomodasi. Masih akan ada kemungkinan untuk dimasukkan dalam perbaikan juklak," ujar Anshari.

Anshari menjelaskan, pelaksanaan Inpres dan juklaknya bersifat dinamis sambil terus dievaluasi.

"Inpres ini masih berlaku umum. Mungkin ke depan, seiring pelaksanaan, akan diterapkan penghitungan TKDN untuk masing-masing kelompok industri," ujarnya.

Permintaan untuk menetapkan batas minimal, menurut dia, akan dikaji lebih dahulu. "Kami akan kaji apakah angka 15 persen cukup reasonable," tuturnya.

Selain usaha penunjang minyak dan gas, menurut Anshari, sektor industri lain seperti telekomunikasi juga mempertanyakan kebijakan tersebut. "Industri telekomunikasi masih komplain untuk mencapai TKDN 40 persen," ujar Anshari.

Dia mencontohkan, bisnis komputer umumnya bersifat outsourcing. "Artinya, sebagian besar komponen dari luar, tapi dirakit di dalam negeri. Di setiap negara, karakter bisnis komputer seperti itu," katanya.

Jika hanya mengikuti persyaratan TKDN, menurut pengusaha komputer,  hal itu tidak akan ada preferensi untuk mengembangkan industri komputer dalam negeri. "Mereka (pengusaha komputer) mintanya ada hitungan TKDN sendiri," ujar dia.
arinto.wibowo@vivanews.com

Kurang Beken, Produk ATK Lokal Belum Banyak Dilirik

Produk-produk alat tulis kantor (ATK) buatan dalam negeri masih belum banyak dilirik oleh para konsumen dalam negeri khususnya di sektor perkantoran dan pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi.

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Tekstil, dan Aneka (ILMTA) Kementerian Perindustrian Ansari Bukhari mengatakan pemerintah akan terus meningkatkan kesadaran masyarakat, pemerintah dan swasta untuk mencintai dan menggunakan produk dalam negeri.

"Kurang dikenalnya produk dalam negeri seperti peralatan kantor, instansi pemerintah belum banyak memakai begitu juga sekolah-sekolah dan perguruan tinggi," katanya di sela-sela pameran P3DN produk birokrasi dan pendidikan, di Kantor Kemenperin, Jakarta, Selasa (28/9/2010).

Ansari menegaskan pemerintah telah membuat banyak kebijakan dalam upaya peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN). Di antaranya Inpres No.2 Tahun 2009 hingga peraturan menteri.

"Oleh karena itu bagaimana mengkomunikasikan kepada mereka untuk mendorong pakai produk dalam negeri," katanya.

Ia menuturkan saat ini kementerian perindustrian sudah membuat dua buku panduan terkait P3DN. Di antara buku yang bersisi mengenai 21 kelompok produk yang sudah bisa dibuat di dalam negeri dan buka mengenai komposisi produk dalam negeri yang sudah memenuhi komponen lokal hingga minimal 40%.

"Ini akan kita update terus, produk-produknya pun akan terus bertambah," katanya.

Ia menjelaskan ada 3 kelompok pasar yang menjadi sasaran dalam program P3DN yaitu pasar masyarakat umum, swasta, dan instansi pemerintah serta BUMN. Ketiga katagori tersebut harus memakai pendekatan yang berbeda.

"Masyarakat umum dan bukan BUMN kita tidak bisa memaksa menggunakan produk dalam negeri, yang bisa dilakukan adalah mengimbau dan mengajak mencintai produk dalam negeri. Kalau pemerintah dan BUMN ada aturan yang bisa dipakai seperti Keppres 80, pemerintah juga punya Inpres No.2 Tahun 2009 soal P3DN," katanya. (hen/dnl)

CINTAI PRODUK SENDIRI UNTUK PERKUAT KEMANDIRIAN INDUSTRI DALAM NEGERI

Kota Bekasi, 1/12/2010. Krisis ekonomi dunia yang masih terasa dampaknya hingga saat ini, khususnya bagi perekonomian bangsa Indonesia, telah menyadarkan betapa pentingnya membangun kekuatan pasar dalam negeri, dengan memperkuat dan menyerap hasil produk industri lokal.

Sektor industri dalam negeri maupun lokal dapat mandiri dan kuat secara bertahap, jika diimbangi dengan peran seluruh pihak, tidak hanya pemerintah saja, tetapi juga para investor atau stake holder bersama-sama masyarakat, sebagai kuncinya, saling menumbuhkembangkan budaya cinta para produk dalam negeri.

Dengan ditumbuhkembangkannya budaya cinta produk sendiri, maka pada gilirannya nanti industri lokal dapat tumbuh dan berkembang secara sehat. Namun tentunya, ada sejumlah persyaratan yang mesti dipenuhi dalam mewujudkan hal tersebut, seperti, penyediaan produk di pasaran yang sejenis dengan produk impor, namun harga dan kualitasnya, bukan hanya bersaing tapi sekaligus terjangkau.

Terlebih dengan dibukanya kran perdagangan bebas seperti sekarang ini. Produk asing dengan kuantitas, kualitas dan harga yang sangat terjangkau, telah menjadi pilihan ditengah-tengah masyarakat. Dan bahkan telah merebut hati pasar Indonesia.

Menyikapi hal tersebut, Disperindagkop Kota Bekasi bekerjasama dengan Ditjen Logam Mesin dan Aneka Kementrian Perindustrian menggelar Sosialisasi dan Fasilitasi Pembentukan Tim Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (P3DN) Kota Bekasi, yang berlangsung di Ballroom Krakatau, Hotel Horison, Rabu (1/12) pagi WIB.

Acara tersebut dibuka secara langsung oleh Plh Sekda Kota Bekasi Ir Duddy Setiabudhi, MM. Turut hadir sekaligus sebagai narasumber, Ali Fahmi Kumil dan AH Ginting dari Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementrian Perindustrian RI.

Masyarakat Kota Bekasi yang sebagian besar bergerak di sektor industri  dan perdagangan, diharapkan mampu berkompetisi di era pasar bebas saat ini. “Melalui kegiatan sosialisasi ini, diharapkan dapat dijadikan sebagai sebuah amunisi peningkatan motivasi bagi pengembang sektor industri dan perdagangan,” ujar Sekda Kota Bekasi dalam sambutannya.

Sebagai langkah antisipasi, pemerintah telah mengeluarkan Inpres Nomor 2 Tentang P3DN Tahun 2009 yang diikuti oleh Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 102 Tahun 2009 Jo Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penggunaan Produk Dalam Negeri Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.(tim web)

PLN: Pembangunan Listrik Butuh US$ 97,1 Miliar Sampai 2019

PT PLN (Persero) memperkirakan pembangunan listrik pada 2010-2019 membutuhkan dana US$ 97,1 miliar. Ini untuk mencapai rasio elektrifikasi 91% di 2019.

Demikian disampaikan oleh Direktur Perencanaan dan Teknologi PLN Nasril Sebayang dalam rapat dengan Komisi VII DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (8/12/2010).

"Untuk proyeksi rasio elektrifikasi di tahun 2019 akan mencapai 91% bagi Indonesia," jelas Nasril.

Nasril menambakan untuk mencapai proyeksi tersebut, dibutuhkan investasi sebesar US$ 9,7 miliar per tahun hingga 2019.

"Proyeksi kebutuhan investasi ini adalah untuk pembangkit PLN dan IPP (swasta), transmisi, dan distribusi. Angka tersebut hanya merupakan EPC cost, tidak termasuk IDC, financing cost, dan pajak," jelas Nasril.

Adapun, total masing-masing dari investasi untuk pembangkit, transmisi, dan distribusi dari tahun 2010-2019 adalah sebagai berikut:
  • Pembangkit: US$ 70,663 miliar
  • Transmisi: US$ 15,195 miliar
  • Distribusi: US$ 11,274 miliar
Sebagai tambahan, untuk tahun ini, data realisasi (per Oktober 2010) rasio elektrifikasi yang disampaikan adalah memiliki total sejumlah 66,28% dengan jumlah 38,486,988 pelanggan rumah tangga.

Kemudian, berdasarkan penyampaian yang diucapkan oleh Nasril Sebayang, kendala yang dihadapi dalam program elektrifikasi tersebut adalah masalah proses pembebasan tanah yang berlarut-larut, masalah perizinan untuk jaringan yang melintasi kawasan hutan lindung, serta pemberlakuan Permenkeu No. 69/PMK.02/2010 tanggal 23 Maret tentang tata cara revisi anggaran tahun anggaran 2010.
- detikFinance

Pemerintah Siapkan Sanksi bagi BUMN Bandel Tak Pakai Produk Lokal

Menteri Perindustrian MS Hidayat menegaskan pemerintah siap memberikan sanksi bagi Kementerian atau Lembaga (K/L) khususnya BUMN yang minim atau bahkan tak menggunakan produk dalam negeri. Hal ini merupakan bagian dari program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) yang sudah menjadi instruksi presiden (Inpres) No.2 tahun 2009.

"P3DN itu adalah instruksi presiden kepada menteri, gubernur, walikota/bupati, tentu ada reward andpunishment, saya tak bisa ucapkan, biar atasan (presiden) saya saja," kata Hidayat di Bandung, Sabtu (27/11/2010).

Hidayat menambahkan pemerintah benar-benar serius untuk mensukseskan program P3DN, dimana dirinya menduduki posisi sebagai ketua tim nasional P3DN. Hidayat mengaku telah menggandeng Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai badan yang mengaudit K/L termasuk BUMN.

"Saya akan review dulu baru saya laporkan, nanti anggaran baru saya evaluasi bagaimana. Terus tahun pertama ini apakah akan berlaku? mestinya setiap inpres harus ditaati. Saya orang swasta, jadi itu perlu bertahap, industri (produk lokal) juga harus ditata mengenai kualitas dan kompetensinya," jelas Hidayat.

Mekipun Hidayat mengakui khusus untuk BUMN yang berstatus perusahaan terbuka (Tbk) tidak mudah menerapkannya. Mengingat BUMN-BUMN semacam ini selain pemegang sahamnya dimiliki pemerintah juga ada unsur pemegang saham masyarakat. Ia berharap  BUMN berstatus perusahaan terbuka para direksinya menciptakan kebijakan perusahaan yang seirama dengan kebijakan pemerintah.

"Bagi BUMN yang tidak Tbk, saya kira bisa meminta mereka (pakai produk lokal)," katanya.

Hidayat menuturkan konsumsi belanja pemerintah melalui K/L maupun para BUMN sangat penting untuk menopang serapan produk lokal. Program P3DN menjadi salah satu cara untuk menggenjot penyerapan produk lokal di pasar dalam negeri. Saat ini beberapa BUMN strategis seperti Pertamina, Telkom dan lain-lain sudah mencoba meminta arahan soal P3DN ini kepada pihaknya.

"Ada yang bilang itu menyalahi perdagangan bebas, nggak lah. Itu demi kepentingan nasional," katanya.

Berdasarkan data kontribusi konsumsi belanja pemerintah terhadap PDB terus meningkat, pada tahun 2008 mencapai 8,4%, kemudian naik pada 2009 mencapai 9,5%. Sedangkan dari sisi pertumbuhan konsumsi mengalami kenaikan 12,9% dari 2008 ke 2009, pada tahun ini perkirakan hanya mencapai 9,3%.

Sementara itu kontribusi belanja barang dan modal pemerintah terhadap pemerintah pusat naik dari 18,6% pada 2008 menjadi 23% pada 2009.

Total belanja barang dan belanja modal pemerintah pada APBN 2009 naik 23,4% dari Rp 128,7 triliun pada tahun 2008 menjadi Rp 158,8 triliun pada 2009. Pada APBN 2010 diproyeksikan pertumbuhan belanja barang dan modal naik 19,2% menjadi Rp 189,2 triliun

Belanja modal dan operasional 63 BUMN strategis tahun 2009 mencapai Rp 950,78 triliun atau hampir sama dengan 95% total APBN tahun 2009 sebesar Rp 1000,8 triliun. Sedangkan belanja modal 63 BUMN pada tahun 2009 mencapai 143,93 triliun naik 21,74% dibandingkan tahun 2008 yang besarnya Rp 120,69 triliun.Suhendra - detikFinance

Sosialisasi Inpres No.2/Tahun 2009 Tentang P3DN di Lingkungan Kemenbudpar

Kemenbudpar bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka (Ditjen ILMTA), Kementerian Perindustrian menyelenggarakan kegiatan sosialisasi Inpres No.2/Tahun 2009 tentang Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di lingkungan Kemenbudpar di Balairung Gedung Sapta Pesona Jakarta, Selasa (20/7).

     Kegiatan sosiaslisasi yang dibuka Sekjen Kemenbudpar Wardiyatmo tersebut dilakukan oleh Pokja II Bidang Sosialisasi Timnas P3DN dengan peserta dari kalangan pejabat di lingkungan Kemenbudpar, stakeholder, asosiasi, maupun pelaku usaha di bidang kebudayaan dan pariwisata.

     Seperti diketahui pasca krisis keuangan global, Presiden RI mencanangkan kembali kebijakan P3DN melalui Inpres No.2/2009, yang salah satu amanatnya adalah membentuk Tim Nasional (Timnas) P3DN yang diketuai Menteri Perindustrian. Timnas P3DN bertugas antara lain merumuskan dan menyiapkan kebijakan, strategi, dan program untuk mengoptimalkan penggunaan barang/jasa hasil produksi dalam negeri dan penyedia barang/jasa nasional dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Timnas juga bertugas melakukan langkah strategis yang diperlukan, sosialisasi menyeluruh dan komprehensif, menetapkan langkah dalam menyelesaikan pemasalahan yang menghambat pelaksanaan, serta monitoring dan evelaluasi atas pelaksanaannya Inpres tersebut. Sesuai dengan rumusan tugas, Timnas P3DN terbentuk atas Sekretariat dan 3 Kelompok Kerja (Pokja) di antaranya yang membidangi sosialisasi adalah Pokja II.

     Sementara itu dalam upaya membangun perekonomian berbasis potensi yang ada, Presiden RI mengeluarkan Keppres N0.3/Tahun 2006 tentang Timnas Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi (Timnas PEPI) yang diketahui langsung Presiden dan Ketua Harian Menko Perekonomian. Melalui Kepmenko No.32/2007, Menko Perekonomian membentuk tiga Pokja di antaranya Pokja 3 yang menangani mengenai promosi penggunaan produksi dalam negeri dan promosi terpadu pariwisata, perdagangan dan investasi. Sebagai Koordinasi promosi Pokja 3 diketuai Menteri Perindustrian.

     Dengan adanya Pokja 3 Timnas PEPI diharapkan langkah promosi bersama akan lebih terpadu khususnya dalam promosi penggunaan produksi dalam negeri, pariwisata, perdagangan dan investasi di dalam dan luar negeri. Biasanya promosi bersama ini diselenggarakan dalam sebuah wadah MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition) yang kegiatannya direncanakan dengan matang dan berangkat bersama untuk tujuan tertentu.

     Pameran besar (MICE) yang dilaksanakan bersama-sama setiap tahun di dalam negeri antara lain Pameran Produk Indonesia (PPI), Indonesia Trade Expo, serta Inacraft. Sedangkan kegiatan MICE di luar negeri antara lain mengikuti Shanghai World Expo di Cina dan Pasar Malam Indonesia di Denhaag Belanda. Pameran besar di luar negeri seperti ini sebagai wujud promosi terpadu yang terdiri atas promosi produk, pariwisata, dan investasi untuk menjaring minat buyers, wisatawan, dan investor agar datang ke Indonesia.

     Senergi gerakan P3DN dan PEPI diharapkan dapat menumbuhkan dan memperkuat struktur industri nasional melalui dua pintu yakni secara internal P3DN diharapkan dapat menumbuhkan kecintaan pasar domestik terhadap produk dalam negeri, sedangkan secara eksternal PEPI diharapkan mampu menumbuhkan permintaan investasi dan peningkatan ekspor di pasar internasional. Dengan demikian, Indonesia akan diakui sebagai negara industri tangguh yang mampu menjadi raja di negeri sendiri dan berdaya saing kuat di persaingan internasional.

     Sesditjen ILMTA Kementerian Perindustrian Suprijanto menyatakan, kegiatan sosialisasi gerakan P3DN dan PEPI di lingkungan Kemenbudpar sangat strategis hal ini terkait dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Kementerian Budpar yang bertugas memelihara dan melindungi keragaman budaya nasional serta mengembangkan kepariwisataan Indonesia.

     Untuk keterangan lebih lanjut silakan menghubungi Ka. Pusformas Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Menperin: P3DN dari Instansi Pemerintah Dongkrak Kinerja Industri

Menteri Perindustrian (Menperin), MS Hidayat, mengatakan bahwa peningkatan penggunaan produksi dalam negeri (P3DN) oleh instansi pemerintah telah mampu membantu dongkrak kinerja industri dalam negeri, meskipun belum maksimal penggunaannya.

Ia mengatakan, selama ini Kementerian Perindustrian terus mengajak instansi pemerintah untuk memaksimalkan penggunaan produksi dalam negeri, sesuai Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2009 tentang P3DN.

"Pertamina, misalnya, memesan pembuatan kapal tanker dari dalam negeri yang nilainya triliunan rupiah. Demikian pula dengan Kementerian Pertahanan dan Telkom, melakukan pembelian produk dalam negeri," kata Hidayat pada pameran P3DN di Bandung, Jawa Barat, Minggu.

Ia menilai kesadaraan instansi pemerintah untuk menggunakan produksi dalam negeri semakin meningkat. Bahkan, kini Kementerian Perindustrian, kata dia, sering diminta penilaiannya mengenai pembelian barang/jasa sesuai kebijakan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN).

"Kadang mereka (instansi pemerinta minta di-`guide` apakah boleh melakukan (belanja) ini. Kami punya ahli untuk menilai TKDN," katanya.

Hidayat mengatakan peluang bagi produk dalam negeri untuk mendapatkan pasar dari dari belanja pemerintah sangat besar. Ia mengatakan, jika melihat APBN-P tahun 2010, nilai belanja barang pemerintah pusat mencapai Rp112 triliun dan belanja modal Rp75 triliun.

Selain itu ada belanja daerah sebesar Rp344,6 triliun dan belanja modal 144 badan usaha milik negara (BUMN) dengan total mencapai Rp167 triliun.

Potensi lainnya, kata dia, adalah belanja beberapa proyek migas untuk pengadaan barang dan jasa. Industri hulu migas belanjanya mencapai Rp70 triliun dan proyek PLTU batubara mencapai Rp68,8E triliun.

"Apabila industri dalam negeri dapat memiliki peluang sebesar-besarnya pada belanja barang dan jasa tersebut, maka akan dampak bagi perekonomian nasional dan pertumbuhan industri nasional," ujar Hidayat.

Menanggapi pertanyaaan apakah kebijakan P3DN tidak bertentangan dengan pasar bebas, Hidayat mengatakan, "Ada yang bilang itu menyalahi aturan peragangan bebas, ya tidak lah. Semua negara melakukan itu, untuk kepentingan nasional," katanya.
(T.R016/P003)Jakarta (ANTARA News)COPYRIGHT © 2010

Selasa, 07 Desember 2010

PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI AUDIT TEKNOLOGI

Teknologi memegang peranan penting dalam meningkatkan kualitas bangsa. Bangsa yang tidak mampu menguasai teknologi akan tersisihkan. Meskipun sejauh ini bangsa Indonesia telah berupaya untuk menguasai teknologi di berbagai bidang kehidupan, namun tetap saja Indonesia masih tergolong lemah dalam penguasaan teknologi. 
Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan lemahnya penguasaan teknologi di Indonesia. Disinilah audit teknologi diperlukan. Pusat Audit Teknologi BPPT telah melakukan kegiatan audit teknologi sejak tahun 2001, demikian antara lain disampaikan Direktur Pusat Audit Teknologi (PAT) BPPT, Hasan M Djajadiningrat pada acara Focuss Group Discussion (FGD) Pembakuan Standard dan Pedoman Audit Teknologi di Ruang Komisi Utama, Senin (17/5).
Dalam pelaksanaan audit teknologi, tentunya dibutuhkan suatu standar pedoman dan panduan yang baku agar pelaksanaan audit teknologi berjalan tepat sasaran dan memberikan hasil yang bermanfaat. PAT telah membuat pedoman umum dan standar audit teknologi sesuai standar internasional tahun 2007 lalu. Kemudian tahun 2008 PAT menghasilkan framework audit teknologi dan panduan untuk beberapa sektor tertentu seperti sektor pangan untuk kelapa sawir, sektor Teknologi Informasi dan Komunikasi, sektor manufaktur, sektor agro untuk jagung dan kedelai serta sektor energi untuk biodiesel. Tujuan akhir kegiatan FGD ini adalah BPPT memiliki acuan baku dalam hal audit teknologi yang dapat digunakan secara nasional jelas Hasan lebih lanjut.
Audit teknologi sudah dikenal cukup lama di Indonesia dan merupakan kewenangan dari BPPT yang dinyatakan dalam Keppres no 11 th 2005 pasal 60. Audit teknologi diperlukan dalam rangka penguatan dan perlindungan terhadap industri dalam negeri. Hal tersebut disampaikan oleh Kepala BPPT Marzan A Iskandar dalam pembukaan acara FGD Pembakuan Standard dan Pedoman Audit Teknologi.
Apakah audit teknologi diperlukan? Jika diperlukan, bagaimana cara pelaksanaan dan mekanismenya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan inilah kita mengadakan FGD.  BPPT ingin mengoptimalkan peran sebagai lembaga yang memiiliki wewenang dalam melakukan audit teknologi, kata Marzan.
Selanjutnya Marzan mengatakan bahwa audit teknologi sangat penting untuk membela kepentingan publik, pemerintah dan negara. â€Å“Untuk bisa memenangkan pasar, tentunya diperlukan penguatan industri dalam negeri terutama dari sisi teknologi. Maraknya produk impor dengan harga murah menjadikan kondisi industri dalam negeri kita kian terpuruk. Dengan semakin meningkatnya persaingan, terbukanya perdagangan bebas menjadikan audit teknologi mutlak dilakukan.
Dalam usaha untuk mengaplikasikan audit teknologi di seluruh sektor, BPPT tidak dapat bekerja sendirian. BPPT mampu melakukan audit teknologi di semua lini bila ada dukungan dan permintaan dari stakeholder, owner dan penguasa. Tanpa adanya dukungan tersebut audit teknologi tidak akan berjalan dengan baik.
Sebagai ilustrasi, BPPT akan menyelenggarakan dialog nasional e-voting untuk pemilu 2014. Untuk menjamin fasilitas elektronik dalam e-voting dapat berfungsi dan sesuai dengan sistem pemilu yang dianut oleh Indonesia, maka diperlukan audit teknologi sebelum pemilu e-voting dilaksanakan. Hal-hal semacam ini akan semakin sering terjadi. Ke depan, audit teknologi akan semakin dibutuhkan oleh masyarakat. Oleh karena itu kita harus mempersiapkan dengan baik standar, pedoman umum dan ode etik audit teknologi agar menjadi alat yang efektif dalam mengevaluasi standar teknologi, jelas Marzan.
Tampak hadir dalam acara Deputi Kepala BPPT Bidang Pengkajian Kebijakan Teknologi, Utama H. Padmadinata, direktur dan kepala balai di lingkungan teknis BPPT, serta perwakilan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Ikatan Audit Sistem Informasi Indonesia (IASII). FGD ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mendapatkan masukan yang substansial dalam membangun kesepahaman tentang tata laksana dan pedoman audit teknologi. Selain FGD pembakuan standard an pedoman audit teknologi, akan dilaksanakan pula FGD panduan audit teknologi per sektor dan FGD kurikulum pelatihan serta sertifikasi profesi. (YRA/humas)

Pemerintah Harus Beli Produk Dalam Negeri

Untuk menciptakan ketahanan ekonomi nasional serta menciptakan pertumbuhan ekonomi yang cepat, berkelanjutan, dan adil, sudah saatnya pemerintah melindungi produksi dalam negeri.
Hal itu diungkapkan Ketua Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Ginandjar Kartasasmita pada seminar nasional ICMI di Jakarta, pekan lalu.
Menurut Ginandjar, selama ini Indonesia dikenal sebagai bangsa pembeli, bukan bangsa penjual. Oleh karena itu, sekarang sudah saatnya produksi dalam negeri dilindungi.
Caranya, pemerintah dan badan usaha milik negara (BUMN) berperan sebagai pembeli utama semua produksi dalam negeri. Ini bisa dilakukan dan tidak melanggar ketentuan Organisasi Perdagangan Internasional (WTO) soal perdagangan bebas.
”Di Indonesia, disuruh membeli produk dalam negeri susah sekali. Untuk meningkatkan mutu produksi dalam negeri bisa menggunakan Standar Nasional Indonesia,” ujar Ginandjar, yang pada era Orde Baru pernah menjadi Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (UP3DN)/Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Kemandirian ekonomi merupakan syarat mutlak agar Indonesia bisa bersaing pada era globalisasi. Dulu, ujar Ginandjar, ketika dirinya menjadi Menmud UP3DN/Ketua BKPM, pemerintah sengaja memproteksi pengusaha nasional.
”Dulu, pengusaha seperti Arifin Panigoro, Aburizal Bakrie, dan Abdul Latief, pernah menikmati kebijakan tersebut. Sekarang mereka sudah menjadi pengusaha besar. Mungkin sekarang pengusaha nasional tidak perlu diproteksi, tetapi pemerintah/BUMN berfungsi sebagai pembeli besar produksi dalam negeri,” kata Ginandjar.
Dari Bandung dilaporkan, sosialisasi peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN) yang dilakukan Menteri Perindustrian MS Hidayat masih sebatas inventarisasi permasalahan dunia usaha.
Berdasarkan pengamatan Kompas, kegiatan inventarisasi P3DN sudah sering dilakukan di kementerian teknis dan forum komunikasi, dengan dunia usaha dan instansi terkait.
Peserta sosialisasi masih mengeluhkan berbagai persoalan klasik yang belum diselesaikan pemerintah, terutama masalah infrastruktur.
Sementara itu, pemerintah lebih mengedepankan target pertumbuhan industri dan tantangan industri dalam menghadapi persaingan dalam perdagangan bebas.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat mengatakan, kondisi jalan yang rusak sangat menghambat kegiatan dunia usaha.
”Kerusakan infrastruktur menyebabkan minat investasi terhambat. Akibatnya, industri yang diharapkan menumbuhkan sektor padat karya sulit berkembang,” ujar Ade.
Ketua Asosiasi Industri Persepatuan Indonesia Eddy Widjanarko mengatakan, kebijakan importasi barang, khususnya bahan baku bagi industri alas kaki, masih menjadi persoalan yang belum tuntas.
Abdul Sobur dari Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia menekankan masalah pemanfaatan bahan baku rotan. Perdagangan bebas menghancurkan industri rotan sebagai salah satu unggulan dari sektor industri kerajinan.
MS Hidayat menegaskan, menyongsong tahun 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menginstruksikan seluruh menteri untuk melakukan penghematan anggaran agar ada dana tambahan Rp 100 triliun untuk perbaikan infrastruktur.

Pemerintah Diminta Amankan Pasar Dalam Negeri

Ketua Dewan Kehormatan Ikatan Cendekiawan Islam Indonesia (ICMI) BJ Habibie meminta agar pasar dalam negeri diamankan demi barang produksi dalam negeri guna mendorong perekonomian yang lebih baik di masa depan.

"Penggerak utama industri manufaktur itu adalah pasar dalam negeri. berapa persen sih produk dalam negeri. Kalau semua masuk situ, semua bisa kerja, nggak perlu menganggur. Pasar dalam negeri diamankan untuk produk dalam negeri tanpa membedakan siapa pemiliknya," katanya dalam pidato di depan peserta pembukaan Muktamar ICMI ke-V di Bogor, Minggu (5/12).

Menurut Habibie, kebijakan yang membebaskan impor barang-barang manufaktur mengakibatkan hilangnya lapangan pekerjaan sehingga menambah pengangguran. Untuk itu, menurut mantan presiden ini,  diperlukan produk hukum untuk membantu meningkatkan daya saing manufaktur dan mengamankan pasar domestik untuk produk yang dihasilkan di dalam negeri. "Ini bukan proteksionisme tetapi untuk menciptakan lapangan kerja, dalam rangka memperbaiki neraca jam kerja.," katanya.

Ia menjelaskan, selama ini Indonesia sering "ditidurkan"  dengan konsep neraca pembayaran dan neraca perdagangan. Seolah-olah dengan neraca perdagangan dan neraca pembayaran yang positif hal itu sudah cukup. "Itu yang dinamakan ada skenario dari VOC," katanya.

Habibie mengatakan, neraca perdagangan yang positif saat ini karena ekspor sumber daya alam, namun hal ini tidak memberikan nilai tambah bagi sumber daya manusia Indonesia. Sementara impor Indonesia berupa barang industri manufaktur yang menyerap tenaga kerja.

Padahal, menurut dia, selain neraca perdagangan dan pembayaran, yang penting adalah neraca jam kerja. Indonesia hingga saat ini mengalami defisit dalam neraca jam kerja. Hal ini karena barang-barang impor Indonesia berupa barang manufaktur yang memberikan nilai tambah.

Ia mencontohkan impor mobil, sehingga Indonesia membiayai para pekerja mobil di luar negeri. "Mobil yang anda beli dari merek apa pun yang diimpor, anda bayar jam kerjanya di negara asal. Jadi kita nggak bisa(tidak boleh, red)  impor terus, kita tidak bakal naik-naik," katanya.

Untuk itu ia meminta agar segala industri manufaktur yang ada di Indonesia baik itu mikro, kecil, sedang maupun besar diperhatikan. "Jadi industri manufaktur obat, jamu, makanan, kerajinan, tekstil, tranportasi baik darat, laut udara, semua harus segera mendapat perhatian," katanya. (Ant/OL-04)BOGOR--MICOM

Kinerja Industri Pendukung Galangan Kapal Terkerek

Pemberlakuan asas cabotage sedikit memberikan angin segar bagi industri dan perdagangan produk pendukung galangan kapal.

Sebab, karena kebijakan tersebut, akhirnya industri galangan kapal dalam negeri menjadi kebanjiran order. Hal ini kemudian memicu tingginya permintaan berbagai jenis produk pendukung dalam pembangunan kapal, seperti baja dan produk pengelasan atau welding product.

"Tahun ini cukup bagus, bahkan kinerja penjualan kami naik sekitar 20% hingga 25%," ungkap Direktur Operasional Unit Bisnis Produk Industri PT Tira Autenite Tbk, Arief Goenadibrata, ketika ditemui di kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Rabu (27/10/2010).

Selama ini, lanjutnya, Tira memang menfokuskan diri menjadi distributor berbagai jenis produk pengelasan dan baja yang menjadi produk pendukung dalam pembangunan kapal atau lainnya.

Dengan naiknya kinerja industri perkapalan dalam negeri di tahun ini, maka kinerja mereka juga terkerek naik.

"Sebagian besar industri kapal dan industri besar lainnya yang ada di Indonesia menjadi mitra kami, di antara PT PAL, PT DPS, dan Pindad," lanjut Arief.

Karena permintaan produk pengelasan meningkat, nilai impor bahan baku pengelasan dari Eropa yang dilakukan Tira juga terkerek. Hingga saat ini, nilai impor mereka sudah mencapai Rp3 miliar per tahun, meningkat 25% dibanding tahun lalu.

"Ini karena tahun ini kami canangkan sebagai tahun pengelasan. Selain itu, kami juga berencana untuk mengembangkan bisnis ini di tahun depan melalui program robotic welding dan under welding," ungkapnya.

Hal yang sama juga diutarakan oleh Direktur Utama PT Tira Austenite Tbk, Sri Meitono Purbowo. Dia mengatakan, dengan meningkatnya volume penjualan produk dari dua unit bisnis strategisnya, kinerja Tira tahun ini hingga akhir tahun akan mencatat angka kenaikan sebesar 25%. Pada tahun depan, diperkirakan peningkatannya akan jauh lebih besar, bisa mencapai sekitar 30%.

"Kalau kami melihat tren di tahun ini, saya yakin kinerja kami tahun depan akan naik sekitar 30%," ujarnya. kbc6.kabarbisnis.com

Pertamina Diimbau Gandeng Galangan Lokal

Pemerintah terus mendorong sinergi antar Badan Usaha Milik Negera (BUMN). Upaya tersebut salah satunya diwujudkan dengan mengimbau PT Pertamina untuk melakukan pembangunan kapal tanker baru dan kapal elpiji di beberapa galangan BUMN dalam negeri.

"Saya pikir, sinergi antara Pertamina dengan PT Dok Perkapalan Surabaya (DPS) sangat berhasil. Ini terlihat dari banyaknya kapal tanker milik pertamina yang dibangun disini. Dan saya mengimbau, untuk pembangunan kapal elpiji yang saat ini sedang dalam proses tender juga dibangun di sini," ungkap Deputi Bidang Usaha Industri Strategis dan Manufaktur Kementerian BUMN, Irnanda Laksanawan usai melakukan peluncuran kapal oil tanker Kakap pesanan PT Pertamina di PT DPS, Surabaya, Jumat malam (19/11/2010).

Sebab, galangan dalam negeri sebenarnya sudah siap dan mampu untuk mengerjakannya. Hanya saja selama ini mereka belum diberi kepercayaan untuk membangun kapal dengan tingkat kesulitan kelas tiga seperti kapal elpiji.

"Saya pikir, mereka sangat siap dan mampu. Tinggal apakah Pertamina akan memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada mereka untuk mengerjakannya," tekannya.

Lebih lanjut Irnanda mengungkapkan bahwa untuk pemesanan kapal oil tanker memang telah dilakukan di dalam negeri, namun untuk pembangunan kapal elpiji selama ini masih dilakuklan di China. Padahal jika pembangunan tersebut dilakukan di dalam negeri, akan menimbulkan efek domino yang cukup besar di sektor ekonomi. Sebab kebutuhan plat baja dan steering gear dan kebutuhan lainnya dalam pembangunan kapal bisa menggunakan produk dalam negeri.

"Berapa uang yang akhirnya tidak keluar ke luar negeri dan ini akan menghemat devisa negara. Dan langkah ini juga akan mendorong meningkatnya kinerja bernbagai industri turunan lainnya," lanjutnya.

Hal yang sama juga diutarakan oleh Direktur Utama PT DPS, Muhammad Firmansyah Arifin, bahwa dengan membangun kapal dalam negeri, beberapa komponen kapal bisa menggunalkan produk dalam negeri.

Ia menyontohkan pembangunan kapal oil tanker Kakap yang konten lokalnya mencapai 40%.

"Plat Baja kami datangkan dari PT Krakatau Steel, steering gear dari PT Pindad dan ruller assembly dari PT Barata Indonesia. Jika kapal ini dibangun di luar negeri, jelas tidak ada produk Indonesia yang digunakan," terang Firman.

Terkait pembangunan kapal elpiji, Firman juga sangat berharap Pertamina memberikan kepercayaan kepada perusahaan yang dipimpinnya untuk bisa mengerjakannya.

"Kami sangat berharap Pertamina memberikan kepercayaan kepada kami, karena kalau kami tidak diberikan kesempatan, kami tidak akan memiliki pengalaman," katanya.

Menanggapi keinginan tersebut, Deputi Direktur Perkapalan PT Pertamina, Suhartoko mengatakan sangat mendukung. Namun hal ini harus diimbangi dengan kecocokan harga, kualitas dan ketepatan waktu pembangunan.

Selama ini, katanya, pembangunan kapal elpiji memang belum pernah dilakukan di galangan dalam negeri. Dari 5 unit kapal elpiji yang telah dimiliki Pertamina, semuanya dibangun di China. Ini karena galangan kapal dalam negeri belum memiliki keahlian dan pengalaman sama sekali dalam membangun pakal jenis tersebut.

"Sekarang kami memang sedang tender pembangunan kapal elpiji dengan kapasitas 3.500 meter kubik setara dengan 1.800 metrik ton elpiji. Dan sekarang masih dalam rangka negosiasi harga," kata Suhartoko.

Menurutnya, karena belum memiliki pengalaman, maka ada biaya pelatihan yang dibebankan, sehingga total investasi yang harus dikeluarkan menjadi lebih besar dibanding membangunnya di China.

"Kalau kita membangun kapal elpiji di China harganya mencapai US$14,5 juta sementara kalau di dalam negeri mencapai US$19 juta," katanya.

Untuk itu, Pertamina berharap pemerintah mau menanggung kelebihan biaya tersebut. Karena Pertamina tidak mau menanggung kelebihan tersebut.

"Sekarang negosiasi pada titik akhir, tahap berikutnya akan kami laporkan ke direksi, maksimal 1 minggu ke depan. Kebijakan selanjutnya, kami serahkan kepada direksi, apakah akan membangun di galangan dalam negeri dengan kelebihan biaya ataukan membangun di China," pungkasnya. kbc6

Pacu Pembangunan Industri Penunjang Perkapalan

Ketua Ikatan Pengusaha Industri Dok dan Perkapalan serta Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) Jawa Timur (Jatim) Bambang Haryo menyatakan bahwa keberadaan industri penunjang galangan kapal nasional hingga detik ini masih minim, khususnya untuk industri mesin induk dan mesin cadangan.

Kondisi ini kemudian menghambat pertumbuhan kinerja industri galangan kapal nasional, termasuk Jatim. Karena komponen mesin dan beberapa komponen yang dibutuhkan lainnya seperti alat navigasi, komunikasi dan keselamatan masih harus impor dari luar negeri.

"Selama ini mesin induk dan mesin cadangan masih impor dari luar negeri, terbesar dari Jepang. Karena harus mendatangkan dari Jepang, maka untuk mendapatkannya memakan waktu yang cukup lama, terlebih pengirimannya juga sering mengalami keterlambatan. Dan inilah yang akhirnya menghambat proses pembangunan kapal yang selanjutnya menghambat pula pada kinerja industri galangan dalam negeri," ungkap Bambang Haryo yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jendral (Sekjen) Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) saat ditemui di Surabaya, Sabtu (4/12/2010).

Ia mencontohkan, untuk pembangunan kapal jenis roll on roll off (ro-ro) KMP Arar yang diproduksi PT Adiluhung Sarana Segara Indonesia yang sudah diluncurkan pada pekan lalu oleh Menteri Perhubungan Freddy Numbari sebenarnya sudah bisa diselesaikan dalam jangka waktu 11 bulan. Namun karena pengiriman mesin induk yang diimpor dari Mitsubishi Jepang mengalami keterlambatan sekitar 3,5 bulan, maka baru bisa diselesaikan selama 14 bulan.

Meski sebenarnya waktu pembangunan KMP Arar selama 14 bulan tersebut lebih cepat satu bulan dari kontrak yang mencapai 15 bulan. Dan secara kualitas, KMP Arar ini cukup memuaskan pemerintah karena pembangunannya menggunakan standardisasi keselamatan pelayaran internasional dalam ketentuan Solas.

"Seluruh galangan kapal dalam negeri, khususnya Jatim sudah berkomitmen untuk meningkatkan kualitas dan kinerja perusahaan galangan dengan mempercepat pembangunan kapal. Dan ini perlu dukungan penuh dari pemerintah dengan mendorong percepatan pembangunan industri pendukung," ungkapnya.

Hal yang sama juga diutarakan oleh Direktur Produksi PT Adiluhung Sarana Segara Indonesia, Anita Pujiutami bahwa ketersediaan produksi mesin induk dan berbagai komponen lainnya dalam pembangunan kapal sangat diperlukan. Selain bisa mempermudah dan mempercepat waktu pembangunan, juga bisa meningkatkan kinerja industri dalam negeri secara umum karena muatan lokal dalam pembangunan kapal akan bisa ditingkatkan.

"Saat ini, muatan lokal dalam pembangunan satu unit kapal hanya bisa mencapai 35% hingga 40%. Ini karena mesin induk, mesin cadangan, alat navigasi dan sebagainya masih harus impor. Sementara baja, interior dan furniture sudah bisa didapatkan di dalam negeri," tambah Anita.

Selama ini, lanjutnya, pelaku industri galangan sudah sering menyuarakan hal tersebut, namun hingga kini masih belum ada perusahaan permesinan pendukung industri galangan kapal yang bisa memasok kebutuhan tersebut.

"Kami berharap, pemerintah mendorong percepatan pembangunan industri pendukung tersebut, agar pembangunan kapal dalam negeri tidak terkendala," tekannya.

Terkait kebijakan pemerintah tentang pembangunan kapal penumpang ro-ro atau ferry yang harus mencapai sekitar 1.000 GT yang akan diberlakukan tahun depan, ia menyatakan siap untuk melaksanakannya. Karena kapasitas dan fasilitas yang dimiliki Adiluhung sangat mendukung.

"Hanya saja, karena pembangunan kapal Ferry 1.000 GT tersebut menggunakan mesin induk 2.000 X 2 yang harus dipesan selama 1 tahun dan akan memperpanjang waktu pembangunan, maka kami lebih berkonsentrasi membangun kapal ferry 750 Gt, karena menggunakan mesin 1.000 PK X 2 yang termasuk jenis mesin produksi massal yang mudah didapatkan," pungkasnya. kbc6.kabarbisnis.com

Prospek industri manufaktur per sektor tahun 2010

Industri Elektronik
Industri elektronik memasuki akhir tahun 2009 berhasil memulihkan kembali penjualannya yang semula sempat anjlok di kwartal I dan II tahun 2009. Dengan menguatnya kembali Rupiah, maka harga barang elektronik menjadi lebih terjangkau masyarakat karena selama ini harga barang elektronik selalu dikaitkan dengan nilai tukar Rupiah terhadap US dollar. Ketika Rupiah hampir  menyentuh Rp. 12.000 di awal tahun 2009, penjualan elektronik menurun. Semenjak semester II rupiah menguat dan berdampak kepada harga barang elektronik yang mulai turun.

Meskipun persaingan dengan barang Cina makin ketat namun pada tahun 2009 penjualan produk elektronik dari industri elektronik  di Indonesia terutama perusahaan elektronik besar yang tergabung dalam Electronic Marketer Club (EMC), terus meningkat.  Realisasi omzet produk elektronik di pasar lokal sepanjang 2009 menembus Rp20,09 triliun atau tumbuh 11% dibandingkan dengan realisasi pada 2008 sebesar Rp18,1 triliun.

Pada tahun 2010 pasar barang elektronik diperkirakan akan meningkat sekitar 15%. Namun diperkirakan persaingan dengan produk Cina akan makin ketat karena dengan berlakunya AC-FTA broduk Cina akan makin leluasa bersaing dengan industri didalam negeri. Namun demikian dengan meningkatnya ekonomi nasional pasar  elektronik juga akan membesar sehingga masih ada cukup ruang bagi industri dlaam negeri yang didominasi oleh barang dengan merk dari Jepang dan Korea Selatan untuk melanjutkan dominasinya di pasar dalam negeri.

Industri semen
Memasuki tahun 2009 kalangan industri semen umumnya pesimis pasar semen akan jatuh dibandingkan tahun 2008. Menurut data Asosiasi Semen Indonesia  (ASI), konsumsi semen domestik semester I 2009 turun 7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Namun kondisi tahun 2009 ternyata tidak begitu buruk, untuk periode Januari sampai November 2009, penjualan semen sudah mencapai 34,6 juta ton, atau hanya 1,1% lebih rendah dari Januari - November 2008. Produksi semen nasional tahun ini 41 juta ton, lebih rendah dari 44 juta ton tahun 2008.

Namun semakin membaiknya perekonomian global dan Indonesia membawa kepada semakin baiknya pertumbuhan sektor riil dan konsumsi masyarakat. Pada akhir tahun 2009 sektor properti telah menggeliat kembali dengan mulai meningkatnya penjualan. Diperkirakan pembangunan  properti di tahun 2010 akan kembali meningkat demikian juga dengan pembangunan infrastruktur.

Tahun depan industri semen diperkirakan akan kembali tumbuh. Dengan meningkatnya permintaan maka pada tahun 2010  produksi semen diperkirakan akan tumbuh sebesar 5-6 % dibanding  produksi tahun 2009.

Industri tekstil dan sepatu
Industri tekstil dan sepatu diperkirakan masih akan terpuruk pada tahun 2010, meskipun ekonomi nasional terus tumbuh dan ekonomi dunia mulai membaik. Memasuki tahun 2010 industri tekstil dan sepatu menghadapi serangan gencar dipasar dalam negeri terutama dari produk Cina yang akan mulai mendapat pembebasan bea masuk sesuai dengan kesepakan  perdagangan bebasa ASEAN - Cina atau AC-AFTA.

Tanpa adanya AC-FTA industri tekstil dan sepatu Indonesia semenjak lima tahun terakhir sudah mulai terpuruk karena kemampuan bersaing yang rendah akibat mesin yang tua dan biaya tinggi didalam negeri. Mesin-mesin tua yang memerlukan peremajaan belum bisa dilakukan walaupun Pemerintah menawarkan insentif untuk restrukturisasi mesin tekstil. Semetara upah buruh di Indonesia tidak lagi bisa bersaing dibanding upah buruh di negara seperti Bangladesh, Vietnam atau Cina.

Pemerintah masih optimis dengan membaiknya pasar ekspor dan meningkatnya daya beli masyarakat industri tekstil dan barang kulit akan bisa tumbuh pada tahun 2010. Menurut perkiraan Pemerintah pertumbuhan industri tekstil, barang kulit, dan alas kaki akan mencapai 2,15%. Namun dikalangan industri tekstil, umumnya lebih pesimistis, mereka menganggap tidak turun saja sudah merupakan hal yang baik.

Bagi industri yang berorientasi ekspor maka tahun 2010 sebenarnya memberikan peluang lebih baik karena pasar ekspor utama seperti Amerika Serikat dan Eropa sudah mulai pulih.

Industri baja
Berdasarkan data Depperin, sepanjang tahun 2009 pertumbuhan industri logam dasar besi dan baja merosot ke titik terendah sepanjang 5 tahun terakhir  yaitu menjadi -7,19 % dibandingkan dengan kondisi 2008 yang masih tumbuh sebesar 1,3%. Kemerosotan itu merupakan dampak berantai krisis ekonomi dunia yang memangkas harga baja sekitar 55%-60%. Penurunan harga baja mulai kuartal IV/2008 menyebabkan industri ini mengalami kerugian cukup besar pada 2009. Sejumlah bahan baku yang ditimbun produsen sejak kuartal I/2008 dengan harga tinggi menjadi tidak menguntungkan mengingat harga jual produk jatuh ke titik terendah.

Pada tahun 2010 Industri baja diperkirakan masih akan tertekan baik untuk pasar ekspor maupun pasar domestik. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi perkembangan industri baja pada tahun 2010 adalah mulai berlakunya AC-FTA semenjak bulan Januari 2010.

Industri otomotif
Pada tahun 200 9 pasar otomotif ternyata tidak seburuk apa yang ditakutkan pada awal tahun ketika ekonomi dunia memasuki krisis finansial. Indonesia yang ekonominya masih mampu tumbuh diatas 4% pada tahun 2009 mampu menjadi pendorong bagi pemulihan pasar otomotif. Setelah pada semester I 2009 pasar otomotif menyurut, maka dengan membaiknya perekonomian maka semenjak kwartal III pasar otomotif telah tumbuh kembali walaupun masih berada dibawah pencapaian pada tahun 2008.

Menurut  Wakil Ketua Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Johnny Darmawan, pada waktu itu penjualan otomotif pada tahun 2009 diperkirakan akan menurun 30 persen dari pencapaian tahun 2008 atau hanya sekitar 420 ribu unit.  Namun nyatanya kondisi yang dicapai pada akhir tahun 2009 jauh lebih baik dari perkiraan semula. Sampai bulan Desember 2009 diperkirakan penjualan mobil mencapai 480 ribu unit atau hanya turun 20% dari tahun 2008.

Demikian juga pasar sepeda motor Pada tahun 2009 tidak terlalu merosot seperti yang diramalkan semula. Sampai bulan Desember 2009 penjualan sepeda motor telah mencapai 5,88 juta unit sedikit lebih rendah dibandingkan penjualan pada periode yang sama tahun 2008 yang mencapai 6,21 juta unit.

Kenaikan penjualan otomotif terutama terjadi pada kwartal III 2009, sejalan dengan perbaikan ekonomi nasional yang juga terjadi pada ekonomi dunia. Menurut kalangan industri mobil, prospek pasar mobil tahun 2010 sangat cerah. Tren penguatan rupiah dan turunnya  bunga kredit akan mendorong pasar mobil nasional. Dengan kondisi ekonomi yang tumbuh sekitar 5-6% maka diperkirakan penjualan mobil bisa mencapai 555.000 unit tahun 2010.

Pada tahun 2010, mobil multifungsi atau multi purpose vehicle (MPV) tetap akan menjadi mobil terlaris seperti tahun 2009.  Pada  tahun 2009 MPV yang laris adalah yang harganya antara Rp 101 juta sampai Rp 200 juta.

Untuk penjualan otomotif untuk roda dua pada tahun 2010 diperkirakan juga akan akan meningkat  kembali, dengan kisaran pertumbuhan 10 %. Tingkat pertumbuhan ini dinilai cukup memadai. Dengan tingkat pertumbuhan  tersebut maka penjualan sepeda motor  pada tahun 2010 diperkirakan akan bisa melampaui penjualan pada  tahun 2008 atau sekitar 6,3 juta unit

Outlook  industri manufaktur 2010

Indutri manufaktur pada tahun 2009 mengalami banyak hambatan, seperti pasar ekspor yang melemah, persaingan yang ketat di pasar domesti, harga bahan baku yang tinggi, infrastruktur yang tidak memadai. Akibatnya pada tiga kwartal pertama 2009 hampir semua sektor industri manufaktur merosot.

Baik industri yang berorientasi ekspor maupun pasar dalam negeri, mengalami penurunan kinerja. Termasuk diantaranya industri otomotif yang pada tahun 2008 merupakan sektor industri pengolahan dengan tingkat pertumbuhan PDB tertinggi. Pada tahun 2009 sektor ini menurun lebih dari 5% padahal pada tahun sebelumnya tumbuh hampir 10%. Hanya beberapa setor yang tetap tumbuh pesat yaitu sektor industri makanan dan minuman yang meningkat sekitar 15%.

Demikian juga kinerja ekspor sektor industri manufaktur terpuruk karena selama tiga kwartal pertama tahun 2009  turun hampir 20%.

Kondisi ini sebenarnya sudah diramalkan semenjak akhir tahun 2008 yang lalu, karena krisis finansial global memang sedang berlangsung. Akibatnya pasar ekspor terutama menurun drastis karena permintaan dinegara tujuan ekspor utama menurun drastis.

Memasuki kwartal IV, sejalan dengan mulai pulihnya ekonomi dunia maka industri manufaktur juga mulai bergairah kembali. Industri otomotif mampu memacu penjualan dalam tiga bulan terakhir sehingga total penjualan tahun 2009 melebihi perkiraan semula yaitu bisa mencapai 480 ribu unit atau turun 20% dari penjualan tahun 2008, padahal diperkirakan penjualan akan turun sampai 30% jika melihat perkembangan dalam paruh pertama 2009.  Demikian juga penjualan barang elektronika bisa kembali meningkat dalam tiga bulan terakhir sehingga secara keseluruhan penjualan tahun 2009 melebihi tahun 2009.

Sejalan dengan membaiknya ekonomi dunia pada kwartal III 2009, maka ekspor kebali meningkat. Berbaggai produk industri manufaktur juga mulai pulih dalam kwartal ke IV sehingga secara keseluruhan kinerja ekspor membaik dibandingkan tiga kwartal pertama 2009.

Diperkirakan dengan kecenderungan membaiknya ekonomi dunia maka sektor industri manufaktur akan tumbuh lebih baik pada tahun 2010 dibanding tahun 2009.

Pemberlakuan AC-FTA menjadi ancaman bagi beberapa sektor manufaktur kalau tidak diantispasi dengan baik oleh pelaku usaha di sektor itu dan oleh Pemerintah. Dengan keterpurukan yang sudah berlarut-larut pada industri baja, tekstil dan sepatu, maka tanpa penanganan yang benar dalam menjalankan pasar bebas industri tersebut bisa makin terpuruk.

Namun secara umum AC-FTA juga bisa membawa dampak positif kepada sektor industri manufaktur lainnya yang membutuhkan bahan baku impor dari Cina. Dengan harga bahan baku yang lebih murah maka produk hilir bisa ditekan harganya sehingga daya beli masyarakat makin besar. Pada gilirannya  hal ini akan berdampak positif kepada industri manufaktur pembuatnya.
Sebenarnya keterpurukkan industri bukan hanya setelah ACFTA diberlakukan, sebelumnya industri tekstil, sepatu, dan baja sudah mulai terpuruk karena kurang bsia bersaing dibandingkan negara produsen lainnya di Asia. Maka penanganan dampak negatif ACFTA bisa dihindari jika industri tersebut melakukan pembenahan.

Apabila pasar ekspor kembali sehat pada tahun 2010 dan pasar domestik masih bisa tumbuh positif karena daya beli masyarakat yang masih berkembang, maka pada tahun 2010 diperkirakan sektor industri manufaktur bisa tumbuh sekitar 5%.http://www.datacon.co.id/

Industri Alutsista Dalam Negeri Dioptimalkan

Jakarta: Selama ini kebanyakan alat utama sistem persenjataan (alutsista) Indonesia diimpor dari luar. Belakangan putra bangsa mampu memproduksi sendiri. Karenanya diharapkan penggunaan alutsista buatan dalam negeri semakin optimal.

Diakui Yung Yunardi, produsen alutsista, industri persenjataan berkembang di Indonesia. Sejumlah perusahaan dalam negeri memproduksi alat tempur demi kepentingan pertahanan. Menurut Yung, itu terlihat dari banyak produsen yang ikut serta dalam Pameran Indodefence 2010 di Jakarta.

Kendaraan amfibi dan perahu antipeluru diproduksi di Indonesia. Jenis kendaraan itu dibuat dari minimal 80 persen bahan baku asal Tanah Air. Lalu, seratus persen pengerjaannya pun dilakukan di Indonesia.

Untuk jangka panjang, alutsista akan diekspor. Itu dilakukan setelah militer Indonesia menggunakannya. Tujuannya tak lain supaya Bangsa Indonesia lebih dulu memeroleh manfaat produk persenjataan tersebut.

Sebelumnya Kementerian Pertahanan merogoh kocek sebesar Rp6,4 triliun untuk membeli alutsista. Pendanaan berasal dari anggaran pemerintah 2010 senilai total Rp42 triliun.Metrotvnews.com

Safeguards, Lindungi Industri Dalam Negeri Gandeng KPPI, Apindo Kaltim Kembali Gelar Sosialisasi

BALIKPAPAN-Pemerintah tampaknya tetap berupaya serius melindungi para pengusaha lokal dan nasional atau industri dalam negeri lewat berbagai kebijakan “proteksi” atau keberpihakan. Salah satunya, melalui tindakan pengamanan (safeguards), yang merupakan instrument yang dapat digunakan oleh Indonesia sebagai anggota World Trade Organization (WTO), untuk melindungi industri dalam negeri dari kerugian serius atau ancamana kerugian serius yang diakibatkan oleh lonjakan barang impor sejenis yang diproduksi di dalam negeri.
Masalahnya, belum semua industri dalam negeri, khususnya pengusaha di daerah memahami dengan baik kebijakan safeguard ini. Sebab itu,  Apindo Kaltim bersama Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI), diagendakan menggelar kegiatan sosialisasi di Hotel Gran Senyiur, Rabu (8/12) mendatang.
Sosialisasi yang mengusung tema “Perlindungan Pasar Produsen Dalam Negeri Dari Lonjakan Barang Impor Melalui Instrumen Safeguards” ini, mengundang 120 pengusaha lokal dan stakeholder terkait di Kaltim, serta dihadiri langsung Ketua KPPI Halidah Miljani dan narasumber dari tim KPPI pusat.
Menurut Ketua dan Sekretaris Dewan Pengurus Provinsi (DP Prov) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kaltim, M Slamet Brotosiswoyo ST dan Ir Herry Johanes MM, kegiatan ini merupakan yang kali kesekian digelar Apindo bersama sejumlah lembaga dari Jakarta. “Tentu, ini kepercayaan yang luar biasa bagi Kaltim, karena sosialisasi berbagai kebijakan penting pemerintah bagi pengusaha nasional di daerah, selalui Kaltim mendapatkan prioritas,’ ujarnya kepada wartawan di Warung Pojok Ayam Taliwang, Sabtu (4/12).
Bagi pengusaha di Kaltim utamanya anggota Apindo, terang Slamet,  kebijakan safeguards memang belum banyak diketahui dengan baik. Sebab itu ia berharap, acara ini bisa dimanfaatkan dengan baik untuk menambah wawasan. “Artinya, ada peluang bagi pengusaha daerah untuk meminta perlindungan pemerintah, jika produk yang mereka hasilkan terancam atau dirugikan akibat  masuknya produk impor dari lua negeri,” tuturnya.
Ia mengungkapkan, dasar peraturan tentang safeguard adalah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 84 tahun 2002 tentang tindakan pengamanan industri dalam negeri akibat lonjakan impor. Ini, merupakan pelaksanaan dari UU Nomor 77 tahun 1994 tentang pengesahan agreement estabilishing the world trade organization, khususnya kesepakatan mengenai tindakan pengamanan. “Ada 99 tindakan pengamanan yang telah diambil anggota WTO dalam periode 1 Januari 1995 hingga 31 Desember 2001,” ucapnya.
Sementara sejak KPPI berdiri tahun 2003, Indonesia telah menggunakan tindakan pengamanan tiga produk dari 6 negara, yakni China, Malaysia Thailand, Singapura, Filipina dan Hongkong. Produk tersebut antaralain, peralatan makan keramik, produk kimia dan paku kawat.
Adapun tindakan pengamanan yang diambil, berupa pengenaan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP), kuota atau kombinasi dari keduanya. Masa berlaku tindakan pengamanan ini bisa 4 tahun dan dapat diperpanjang hingga 8-10 tahun.
Untuk diketahui, sebelum sosialisasi safeguards ini, Apindo Kaltim sukses menggandeng
Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) Departemen Perdagangan RI,  dengan kegiatan sosialisasi tentang “Ketentuan Untuk Pemulihan Kerugian Industri Dalam Negeri Akibat Barang Impor Dumping”, yang berlangsung di Hotel Grand Tiga Mustika, Rabu (3/11) lalu.(rud)

TNI-AL Akan Berdayakan Industri Dalam Negeri

Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) Laksamana TNI Soeparno menegaskan TNI Angkatan Laut akan terus berjuang mencegah, menangkal dan menindak tegas setiap ancaman dan tindakan dari pihak manapun, yang berusaha mengganggu kepentingan nasional Indonesia.
TNI Angkatan Laut mempunyai tanggung jawab yang cukup berat untuk mengamankan kepentingan nasional di laut dan perairan Nusantara. Untuk itu agar segenap jajaran TNI Angkatan Laut, harus menyikapi hal tersebut dengan langkah nyata, tegas Kasal ketika bertindak selaku Inspektur Upacara pada peringatan Hari Armada RI tahun 2010 di Koarmatim, Ujung Surabaya, Senin (6/12).
Menyikapi kondisi tersebut, maka ke depan Pemimpin TNI Angkatan Laut menetapkan kebijakan dan strategi pembinaan TNI Angkatan Laut yang diarahkan dalam rangka “Terwujudnya TNI Angkatan Laut yang handal dan disegani”.
Membina kekuatan dan kemampuan TNI AL yang berkelanjutan secara efektif dan efisien menuju kekuatan pokok minimum (Minimum Essential Force/MEF) melalui pengadaan, peningkatan kemampuan, pengalihan dan penghapusan dengan memberdayakan kemampuan industri dalam negeri guna menjamin tetap tegaknya kedaulatan dan hukum serta terlaksananya diplomasi Angkatan Laut dan keutuhan wilayah NKRI.
Sedangkan penggunaan kekuatan, kata Laksamana TNI Soeparno diarahkan untuk melaksanakan operasi pengamanan wilayah perbatasan serta perairan yang rawan terhadap tindak kekerasan, bahaya navigasi dan pelanggaran hukum di laut.(Binsar/Surabaya/Poskota)