Rabu, 08 Desember 2010

Kemendiknas Pilih Software Pendidikan Buatan Asing?

Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) disinyalir tidak melakukan komitmen untuk mengunakan produk dalam negeri.

Seperti diketahui, Keputusan Presiden (Keppres) No 80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah menetapkan, setiap belanja pengadaan barang dan jasa pemerintah harus memenuhi syarat tingkat komponen dalam negeri (TKDN) sebesar 40 persen.

Ketua Klaster Pengembangan Konten Edukasi Hary S Candra mengatakan, Kemendiknas lebih memilih untuk menggunakan produk software atau perangkat lunak pendidikan buatan Malaysia, Singapura, dan Inggris, ketimbang buatan dalam negeri. Hal ini, lanjutnya, sudah terjadi sejak dua hingga tiga tahun terakhir.

“Kita sudah minta ke Komisi X untuk menanggapi ini, namun Komisi X memandang software yang memakai terjemahan sudah tidak bermasalah,” kata Hary.

Melihat respons Komisi X, Hary lalu mengirim surat kepada Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk meminta dukungan. Hary mengaku kecawa dengan sikap Kemendiknas. Pasalnya, industri software pendidikan dalam negeri memiliki kualitas yang jauh lebih bagus dengan produk luar negeri. Padahal, harganya hampir sama.

“Masih belum mengerti mengapa Kemendiknas melakukan hal seperti itu. Padahal negara lain saja sudah banyak yang memakai produk software edukasi buatan Indonesia,” tegasnya.

Selain itu, sambung Hary, produk software yang diimpor dari negara-negara tersebut tidak diakreditasikan terlebih dahulu di Kemendiknas sebelum diedarkan. Padahal, kata dia, seluruh produk software indonesia yang dijual di dalam negeri harus diakreditasi dan lolos uji penyaringan terlebih dahulu.

“Kalau kita ekspor software harus disesuaikan, seperti bendera harus mengunakan warna bendera negara yang dituju, masa software pendidikan yang beredar di kita menggunakan bendera negara lain, ini tidak adil,” paparnya. 

Hary berharap, pemerintah lebih adil dalam memberikan kepastian usaha. Lebih lanjut, Hary mengatakan,  pasar software pendidikan di dalam negeri cukup besar. Hary memperkirakan perputaran bisnis dari produk ini mencapai Rp2 triliun per tahun di Indonesia.

Sementara, Ketua Kelompok Kerja Program Peningkatan Produksi Dalam Negeri (Pokja P3DN) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Natsyir Mansyur sebelumnya pernah meminta agar setiap belanja pengadaan barang dan jasa pemerintah selain harus memenuhi syarat tingkat komponen dalam negeri (TKDN) sebesar 40 persen, juga wajib dicantumkan syarat bahwa barang yang tersebut harus memenuhi standar nasional Indonesia (SNI).

“Jangan lagi sampai ada kementerian atau lembaga yang membeli barang impor, harus dengan TKDN 40 persen. Selain itu, jangan karena ada produk impor yang lebih murah sedikit, produk lokal yang memenuhi TKDN 40 persen diabaikan. Nah, produk-produk itu harus memenuhi SNI,” ujar Natsyir.
(Sandra Karina/Koran SI/rhs)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar