Selasa, 04 Januari 2011

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN P3DN Belum Jadi Prioritas Instansi Pemerintah dan BUMN

Proses pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara 10.000 megawatt (MW) tahap I nyaris tidak menggunakan produk dalam negeri. Padahal, industri dalam negeri siap memasok kebutuhan peralatan, mesin, dan perlengkapan untuk pembangkit listrik yang dibangun oleh PT PLN (Persero) ini.Ini terungkap dalam kunjungan wartawan ke PT CG Power System Indonesia/CG-PSI (produsen trafo listrik) di Cileungsi, Kabupaten Bogor, dan PT Japan AE Power Syste Indonesia/JAEPSI (penyedia jaringan transmisi listrik) di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Senin (20/12). 

Implementasi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2009 tentang Pedoman Penggunaan Produk dalam Negeri (P3DN) belum berjalan efektif. Padahal, ketentuan ini mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa di Lingkungan Pemerintah, yang terakhir disempurnakan melalu Perpres Nomor 54 Tahun 2010. 

Proyek PLTU 10.000 MW yang digarap PLN itu sebenarnya menggunakan dana dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan pinjaman luar negeri yang dibayar pemerintah. Untuk proyek PLTU 10.000 MW tahap I, PLN lebih banyak menggunakan produk impor, khususnya dari China, mulai dari pembangunan konstruksi pembangkit hingga untuk pengadaan perangkat kelistrikan, seperti trafo dan jaringan transmisi listrik. Padahal, untuk dua produk ini sudah diproduksi secara massal oleh industri di dalam negeri. 

Presiden Direktur CG-PSI Hemant Lakhotiya mengatakan, pembangunan PLTU 10.000 MW oleh PLN memakai produk impor dari China. Ini jauh dari amanat dari kebijakan dan program pemerintah yang mendorong penggunaan produk buatan dalam negeri."Untuk perangkat kelistrikan seperti trafo yang dipergunakan PLN masih impor dari China. Di Indonesia, produsen telah mampu membuat produk yang memiliki kualitas lebih baik dengan spesifikasi beragam," katanya.Menurut dia, produk yang dihasilkan CG-PSI 30 persen dipasarkan dalam negeri dan 70 persen untuk ekspor ke Australia dan Selandia Baru serta negara lainnya. Kapasitas produksi trafo CG-PSI dari April 2009 hingga Maret 2010 sebesar 5.500 MVA, dan selanjutnya ditargetkan hingga Maret 2011 mencapai 7.000 MVA. 

"Untuk pasar dalam negeri, kita masih mendapat ancaman dari China dan Korea Selatan. Seharusnya pemerintah dan BUMN lebih memprioritaskan penggunaan produk dalam negeri, karena juga kompetitif. Selain menghemat devisa negara, dampaknya juga terkait penciptaan lapangan kerja melalui investasi," tutur Hemant. Sementara itu, Area Sales Manager CG-PSI Ahmad Hadi Sucipto mengatakan, jika industri dalam negeri berkembang, maka akan memberikan keuntungan terhadap industri kecil dan menengah (IKM) nasional yang menjadi pemasok CG-PSI. Saat ini jumlah vendor dan pemasok CG-PSI mencapai puluhan unit perusahaan dari dalam negeri. 

Di tempat terpisah, Presiden Direktur JAEPSI Shunji Ito mengatakan, implementasi kebijakan penggunaan produksi dalam negeri masih jalan di tempat. Ini karena sejumlah proyek pengadaan di pemerintah dan BUMN mayoritas masih menggunakan produk impor."Proyek pengadaan pemerintah belum mengutamakan produk dalam negeri, contohnya dalam proyek Pembangkit Listrik 10.000 megawatt. Pembangkitnya banyak menggunakan produksi dari China," katanya. Menurut Shinju, saat ini baru sektor migas yang melaksanakan ketentuan P3DN. Padahal, kalau perusahaan dan BUMN lain mau melaksanakan ketentuan ini, maka akan berpengaruh postif untuk pengembangan industri di dalam negeri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar