Senin, 14 Februari 2011

Penggunaan Konten Lokal Sudah Diatur Dalam Kontrak Karya

MS. Marpaung


Jakarta – TAMBANG. Sungguh suatu hal yang mengherankan, kalau sampai saat ini masih ada perusahaan tambang di Tanah Air, yang enggan menggunakan produk barang dan jasa dalam negeri (konten lokal) untuk kegiatan operasinya.

Pasalnya, penggunaan barang-barang dan jasa dalam negeri itu sebenarnya telah diatur dalam kontrak antara perusahaan tambang dengan Pemerintah Indonesia, baik dalam Kontrak Karya (KK) maupun Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

Hal ini diungkapkan pakar pertambangan Mangantar S Marpaung, menanggapi dikalahkannya PT Pertamina (Persero) dalam tender pasokan bahan bakar minyak (BBM) oleh PT Freeport Indonesia.

Menurutnya, pertambangan harus diupayakan untuk memberikan sebesar-besarnya kemanfaatan secara ekonomi bagi rakyat Indonesia. Karena pertambangan adalah kegiatan usaha yang mengeksploitasi sumber daya alam tak terbarui. Jangan sampai nantinya emas, tembaga, dan batubara kita habis, namun kemajuan industri dalam negeri terus ”jalan di tempat”.

Desakan menggunakan konten lokal ini pun, kata Marpaung, bukan tanpa dasar. Dalam pasal 12 angka (4) Kontrak Karya (KK) Freeport dengan Pemerintah Indonesia misalnya, disebutkan Freeport boleh melakukan impor selama barang yang dibutuhkan tidak tersedia di dalam negeri.

Namun kalau barang yang dibutuhkan itu produk dan supplier-nya ada di dalam negeri, meski harganya lebih tinggi 12,5% sekali pun, maka Freeport harus mengutamakan produk dalam negeri.

Memang, lanjut Marpaung, ada tiga syarat yang ditambahkan untuk Freeport bisa membeli barang yang ada di dalam negeri. Yakni dari sisi harga, kualitas, dan delivery (ketepatan waktu pengiriman, red) harus kompetitif.

Namun kalau untuk memajukan industri nasional peripheral (pendukung) pertambangan ketiga syarat itu harus dipenuhi sekaligus, tentu sulit. Karena tentunya perusahaan nasional kita tingkat kemajuannya berbeda-beda. ”Dalam konteks ini maka yang berbicara adalah niat baik,” ujarnya kepada Majalah TAMBANG, akhir November 2010.

Penguatan konten lokal ini, lanjutnya, tidak hanya diterapkan di Indonesia. Tapi di semua negara termasuk yang sudah kaya, seperti Jepang dan Amerika Serikat (AS), juga ada kewajiban mengembangkan industri nasional.

Bisa dilihat di Kedutaan Besar (Kedubes) Korea Selatan (Korsel) misalnya, tidak ada kendaraan operasionalnya yang tidak bermerk Hyundai. Begitu pun Kedubes Jepang, dapat dipastikan semua kendaraan operasionalnya adalah mobil Jepang, dan diplomatnya akan memilih tidur di hotel Jepang.

Kalau kita bertandang ke AS, hampir semua orang di sana menggunakan mobil merk Proton. Untuk membeli Proton mereka juga diberi discount, dan produsen Proton juga dipacu untuk memperbaiki produknya.

”Maka sudah sewajarnya Indonesia juga mendorong penggunaan barang dan jasa dalam negeri, dalam kegiatan industri pertambangan,” tandasnya. Produsen dalam negeri kita juga dipacu untuk memperbaiki produknya, sehingga nantinya menjadi maju dan berkualitas setara produk impor.

Berangkat dari ini, ujarnya, maka sudah tidak sepantasnya sebuah perusahaan tambang, mengimpor barang dan jasa yang sebenarnya sudah bisa didapatkan di dalam negeri. Seperti dalam kasus dikalahkannya PT Pertamina (Persero) dalam tender pasokan bahan bakar minyak (BBM) ke PT Freeport Indonesia.

Hal ini patut dipertanyakan, karena terbukti selama ini Pertamina telah mampu mensuplai BBM untuk operasi pertambangan. Mengapa Freeport masih menolak dan memilih impor?Abraham Lagaligo abraham@majalahtambang.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar