Rabu, 08 Desember 2010

Impor Mesin Melonjak Hingga 38,7%

Impor mesin mengalami peningkatan sebesar 38,7% sepanjang 10 bulan pertama tahun 2010. Kementrian Perindustriam memprediksi, hingga akhir tahun impor permesinan akan meningkat sampai 30%. Lonjakan impor mesin ini akibat lemahnya kepercayaan terhadap produk permesinan dalam negeri.
Direktur Permesinan dan Alat Mesin Pertanian (Alsintan) Direktorat Jendral Industri Berbasis Manufaktur Kementerian Perindustrian C. Triharso membenarkan terjadi peningkatan impor yang cukup besar.
Dari Triharso menunjukan, pada semester I tahun 2010 terjadi peningkatan impor hampir mencapai 30%. Menurutnya, tingginya impor mesin akibat banyak industri dalam negeri yang belum percaya pada produk mesin buat nasional, terutama untuk sektor energi dan kelistrikan. Baik perusahaan swasta maupun BUMN. “Padahal kalau dilihat secara apple to apple, produk kita mampu bersaing,” kata Triharso di Jakarta, Rabu (1/12).
Dia menyebut, porsi impor mesin di sektor energi dan kelistrikan hampir mencapai sekitar 30-40 % dari total impor mesin. Peningkatan ini sebagai imbas dari adanya proyek pembangkit listrik yang banyak mengunakan mesin-mesin dari China.
Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai impor mesin dan peralatan mesin mekanik (pos tarif 84) selama Januari-Oktober mencapai US$16,32 miliar, naik sekitar 36,6% dibandingkan dengan periode yang sama 2009 sebesar US$11,94 miliar.
Sedangkan, nilai impor mesin dan peralatan listrik (pos tarif 85) sepanjang 10 bulan tahun ini mencapai US$12,74 miliar, melonjak 41,57% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Data BPS juga memperlihatkan, sepanjang 10 bulan pertama 2010, dari sepuluh impor tertinggi, masing-masing menyumbang 18,6% dan 14,52%. Impor mesin dan peralatan mekanik (pos tariff 84) dan mesin dan peralatan listrik (pos tariff 85) merupakan impor terbesar. Pada bulan Oktober, untuk impor mesin dan peralatan mekanik mencatat kenaikan US$454,8 juta. Sementara impor mesin dan peralatan listrik, mengalami peningkatan sebesar US$193 juta.
Hingga Oktober 2010, nilai impor nonmigas untuk 10 golongan barang mencapai US$87,71 miliar, naik 39,98% dibandingkan Januari-Oktober 2009. Berdasarkan persentase kenaikan, lonjakan impor tertinggi dicatat oleh kelompok kendaraan bermotor dan bagiannya (pos tarif 87) yakni 87,8%, disusul besi dan baja (54,5%), kapas (51,6%), plastik dan barang dari plastik.
Menurut Triharso, sebenarnya peningkatan impor dapat ditekan dengan  Program Peningkatan Produk Dalam Negeri (P3DN), terutama pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Selain itu menyakinkan industri tentang kualitas produk dalam negeri. “Indonesia masih lebih mementingkan harga dibandingkan denga kualitas,” terangnya
Sementara itu, utilisasi industri permesinan dalam negeri sendiri sudah meningkat. Saat ini utilisasi berada di kisaran 70%-80%. Dari pantauannya, sebagian industri malah beroperasi tiga shift atau 24 jam per hari untuk melayani permintaan dari dalam negeri.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Mesin dan Perkakas Indonesia (Asimpi), Dasep Ahmadi mengatakan, sebenarnya industri lokal sudah mampu membuat mesin yang mampu bersaing dengan produk impor. “Perusahaan saya (PT Sarimas Ahmadi Pratama) saat ini sudah  mengerjakan 100 unit mesin perkakas dalam dua bulan, dan tahun depan bisa 1.000 unit per tahun,” katanya.
Dia menyebut, selain mensuplai untuk kebutuhan dalam negeri, perusahaannya juga telah melakukan ekspor ke negara-negara lain di Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand, dan Kamboja.
“Untuk menunjang ekspor, kami bekerja sama dengan rekanan di Malaysia sebagai penyedia jasa dan layanan purnajual,” terangnya.
Dasep mengklaim, saat ini pihaknya melibatkan sekitar 30-40 produsen komponen lokal sebagai pemasok bahan baku dengan kandungan lokal produk mencapai 60%.

Impor mesin bekas
Dalam kesempatan itu, Triharso menyatakan, saat ini sedang mengevaluasi perizinan impor mesin bekas untuk tahun depan. Pihaknya mendorong industri domestik agar memproduksi mesin yang selama ini diimpor dalam bentuk bekas seperti mesin fotokopi.
Permintaan mesin bekas, lanjut Triharso, umumnya datang dari pelaku industri kecil dan menengah (IKM) yang membutuhkan mesin dengan presisi tinggi yang belum diproduksi di dalam negeri. Namun, mereka membeli yang bekas karena anggaran yang terbatas.
Sementara itu, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementrian Perdagangan Dedi Saleh membenarkan adanya evaluasi mengenai izin impor mesin bekas. “Kita sedang melakukan evaluasi dengan kementrian terkait,” terangnya.(nurul)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar